5 tahun kemudian…

Bismillah… Assalamualaikum

Wow… blog ini masih ada rupanya sejak lima tahun lalu kali terakhir aku menulis disini. Layaknya rumah yang sudah lama tidak dihuni, blog ini mungkin sudah berjamur dan berdebu saat ini. Lima tahun berselang, tentunya banyak hal yang tak lagi sama pada diriku dan inilah bagian yang paling kusuka. Kenapa begitu, karena selama masa menulis blog sekira selama lima tahun aku menemukan diriku selalu sama, tidak ada yang benar-benar berubah. Setelah lima tahun menulis dan lima tahun vakum, akhirnya aku menemukan diriku tak lagi sama.

Membuka dan melihat kembali blog ini sepintas seolah bernostalgia ke masa lalu yang sangat jauh, tak pernah terbayangkan dulu itu aku menjalani kehidupanku sekarang. Lalu apa saja yang berubah pada diriku selama lima tahun ke belakang: aku sudah pindah kerja dua kali, aku sudah menikah, dan sudah punya seorang anak. Laki-laki. Enam belas bulan usianya. Malaikat kecilku.

Dari dulu, aku sangat suka anak kecil, aku sempat memiliki hubungan yang dekat dengan seorang anak, laki-laki, mungkin usianya saat itu sekitar tiga atau empat tahun, sampai-sampai aku merasa mempunyai ikatan batin dengannya padahal hubungan darah saja tak ada. Saat itu, aku berangan-angan kelak jika aku diberi kesempatan memiliki anak, seperti apakah rupanya, apa saja watak dan sifatku yang menurun padanya.

Menjadi seorang ibu, aku jadi merasakan hal sebagaimana yang dirasakan oleh semua orang tua di dunia ini. Seperti kami rela berkorban apapun demi anak, kami bekerja untuk memenuhi kebutuhan anak kami, biar saja kami yang menderita asal anak kami tercukupi segala kebutuhannya. Hal-hal seperti itu yang menjadi orientasi hidupku saat ini, kebahagiaan anak kami.

Setelah lima tahun tak menulis, aku menemukan semangat untuk mulai menulis kembali, anakku Mardi.


Mbak Lini bermimpi pergi ke Turki

Suatu pagi di sebuah ruang kelas SMP, guru Bahasa Indonesia bertanya pada murid-muridnya, apa arti imbuhan ber- pada kata ‘bermimpi’ yang ada pada kalimat tersebut diatas? Seorang perempuan paling manis di kelas tersebut, yaitu aku sendiri, mengangkat tangan dan menjawab, imbuhan ber- pada kata itu berarti: memiliki atau mempunyai, sehingga kalimat tersebut bisa diganti sebagai berikut: Mbak Lini mempunyai mimpi pergi ke Turki. Sontak, seluruh pasang mata yang ada di dalam kelas mengarah kepadaku. Bayangan akan masa lalu yang seingatku tak pernah terjadi. Ya sudah, anggap saja paragrafs ini hanyalah intro pada lagu atau prolog pada novel yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan sebagian besar isi tulisan.

Mungkin setiap orang mengalami pengalaman spiritual masing-masing, dan aku tidak tahu pengalaman seperti apa yang terjadi pada Mbak Lini, teman sekantorku. Mbak Lini ini punya sifat yang mirip-mirip denganku, orangnya kaku dan tidak banyak berbaur dengan orang-orang kantor lainnya, cenderung penyendiri juga. Tapi bedanya, mbak Lini punya sahabat kental, namanya Mbak Dian, yang satu divisi denganku dan tempat duduknya persis di sebelahku. Mereka sering keluar makan siang bersama. Walaupun begitu, aku malah bisa dibilang lebih dekat dengan Mbak Lini daripada Mbak Dian. Bisa jadi ini karena aku dan Mbak Lini memiliki sedikit kesamaan sikap dan prinsip. Terlebih lagi, kami memusuhi satu orang yang sama.

Hari ini seperti biasa aku menjalankan puasa sunah Senin – Kamis. Padahal banyak yang bagi-bagi kue hari ini, termasuk aku juga, hahaaa (tidak perlu ke banyak orang, empat orang saja cukup, lagi bokek, maklum tanggal tua). Ada yang bagi-bagi donat ke seantero kantor, terus ketika mengajukan tambahan budget ke Finance di lantai dua, aku dikasih kue brownies, disana sedang ada yang berulangtahun. Potongan kue brownies dibungkus tisu itu aku bawa ke lantai tiga dan kuletakkan di meja Nadia, ‘ini Nad, ada kue lagi’, ternyata disitu ada mbak Lini yang sedang fotocopy, mesin fotocopy terletak disamping meja Nadia. ‘Mbak Lini kalau mau ambil aja ya’. ‘Aku puasa Gin’, begitu jawabnya.

‘Mbak Lini puasa apa?’, tetapi pembicaraan mengenai puasa itu mengambang sampai jam istirahat. Mbak Lini menghampiri mejaku mengajak sholat duhur, biasanya jam segitu aku memang sudah ke atas. Aku mencoba bertanya lagi, ‘puasa apa mbak, mau puasa berapa hari?’. Mbak Lini tidak menjawab dengan jelas, malah balik mengajukan pertanyaan, ‘emang Idul Adha nya kapan ya?’, berhubung aku ber Hari Raya mengikuti keputusan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, aku menjawab dengan mantap, ‘wes jelas ngono loh mbak, tanggal satu hari Jumat’ .

Aku sendiri, rencananya kalau tidak ada halangan, berniat puasa sunah Arafah hari Kamis besok dengan harapan semoga mendapat pahala puasa senin kamis juga. Bukan karena ibadahnya sama dan pada waktu yang sama, kemudian ingin mendapatkan pahala dobel, tetapi karena aku sudah biasa berpuasa senin kamis. Jadi ketika tidak berniat puasa senin kamis, tetap memperoleh pahala niat dan amalannya, karena kalau bukan hari Arafah, aku pasti akan puasa senin kamis. Ini sama semisal dengan apabila ada orang yang terbiasa sholat jamaah di masjid, tetapi karena sakit atau sudah uzur dan tidak kuat lagi berjalan ke masjid, orang ini akan tetap memperoleh pahala niat dan amalan sholat jamaah di masjid, karena kalau ia dalam kondisi sehat, ia pasti akan sholat berjamaah di masjid. Keren ya Allah, maha pemurah sekali, tidak melakukan ibadahnya, tetapi masih mendapatkan pahalanya.

Karena kudengar selintas tadi mbak Lini hendak melaksanakan puasa sunah dua hari sebelum Idhul Adha, aku mencoba melanjutkan pembicaraan. Sebelum sholat, kamipun terlibat dialog yang sangat seru dan serius. Dengan sok tahu, aku memberitahunya, bahwa puasa Sunah yang disyariatkan hanyalah tanggal 9 Dzulhijah, satu hari saja, disebut puasa hari Arafah, tatkala orang-orang yang menjalankan haji sedang melaksanakan ibadah wukuf di padang Arafah (kalau kata mamaku, yang mentang-mentang sudah haji, puasa Arafah bagi yang tidak berhaji adalah untuk mendoakan yang sedang beribadah wukuf tersebut sekaligus ikut merasakan suasana di Arafah).

Bukan berpuasa tiga hari, tanggal 7, 8, dan 9 Dzulhijah, yang mungkin selama ini diketahui orang-orang. Kalau itu akan seperti ritualnya para pengikut aliran Syiah yang tujuannya jelas berbeda. Untuk menghindari kemiripan atau meniru ibadah seperti yang dilakukan kaum Syiah, maka tuntunan bagi umat Islam hanyalah satu hari saja, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah, sehari sebelum Idul Adha pada saat umat muslim yang berhaji melaksanakan wukuf di Arafah. Begitu yang pernah kubaca di sebuah artikel. Mbak Lini tak terlihat ingin membantah penjelasanku itu. Terkait South sendiri, ada begitu banyak referensi bacaan dengan berbahaya macam tingkatan, dari yang paling mudah dipahami, sampai hanya orang yang sedang menempuh  S3 studi Islam yang mampu memahaminya. Seseorang bilang padaku bahwa kita harus juga melihat later belakang si penulis ketika membaca sebuah artikel.

Selepas sholat dhuhur, kami kembali ke meja masing-masing. Iseng aku mengirim pesan via skype ke dia, ‘lantai tiga sekarang ramai ya mbak’. Entah karena memang aku yang tidak suka dengan suasana kantor yang berisik (walaupun jam istirahat) atau hanya karena aku iri saja tidak ikut nimbrung bersama mereka. Bertambah ramai ini sebenarnya wajar adanya karena per tanggal tiga Juli, ada tambahan delapan karyawan baru di lantai tiga. ‘iyo gin, tambah koyok pasar’, hahaaa… Aku nggak heran mbak Lini mendukung dan membenarkan pernyataanku itu.

Tiba-tiba Mbak Lini ada di mejanya mbak Dian, mungkin dikiranya aku kesepian dan perlu teman, padahal aku lagi asyik lagi nonton YouTube siaran ulang pertandingan Final Badminton World Championship Mixed Double yang mempertandingkan Liliana Natsir dan Tontowi Ahmad, peraih medali emas Olimpiade tahun lalu, dengan pasangan dari Cina (tak perlu lah ya, kusebutkan namanya, karena bermaksud mengingat, apalagi menghafalkannya pun tidak) yang tidak sempat kutonton dini hari kemarin, karena…ya aku tidur lah. Dua pasangan Indonesia yang berlaga di final, Man Double dan Mixed Double, mendapatkan jadwal paling akhir, aku sudah tidak kuat lagi menunggu selarut itu, terakhir aku menonton set ketiga Single Woman, yang mempertemukan Jepang dengan India.

Sebenarnya aku lebih ingin menonton permainan pasangan Man Double Muhammad Ahsan dan Rian Agung Saputra, bahkan itu menjadi daftar kegiatan paling atas yang akan kulakukan esok paginya, jika saja mereka menang. Akan tetapi mereka kalah dan hanya meraih medali perak. Ini tidak lain karena Ahsan tampil lebih syar’i dibandingkan saat ia berpasangan dengan Hendra Setiawan. Penampilan Ahsan ini bahkan menjadi viral di sosial media, bahkan dibuat kompilasi videonya di YouTube. Apa saja itu? Ahsan minum sambil duduk jongkok, karena mungkin tidak ada tempat duduk bagi pemain di arena pertandingan. Ini sesuai dengan hadits nabi, tidak boleh minum pada saat berdiri. Dalam kesehatan pun, memang tidak baik, minum sambil berdiri.

Kedua, Ahsan tidak bersalaman dengan service judge perempuan, hanya mengatupkan kedua telapak tangannya. Ketiga, Ahsan dan Rian mengenakan legging menutupi seluruh kaki, ini sesuai dengan peraturan bahwa aurat laki-laki adalah dari pusat sampai lutut. Keempat dan ini yang bikin nggak kuat adalah ia menumbuhkan jenggot. Jenggotnya itu, bagaikan magnet. Aku sampai tercengang melihatnya untuk pertama kali pada laga semi final melawan pasangan dari Jepang. Sudah ah, cukup sampai disini menceritakan tentang Muhammad Ahsan idolaku, uwuwuwuu…. Kembali ke alur cerita.

Aku sampai tidak menyadari keberadaan Mbak Lini di sebelahku, duduk di kursi mbak Dian (yang sedang keluar, seperti biasanya kalau jam istirahat). Ia bercerita kalau ia barusan download lagu-lagunya Maher Zein bayar lima ribu, aku langsung menanggapi, loh kok nggak download gratis aja. Mbak Lini malah bertanya bagaimana caranya download gratis. Sifat sok tahuku muncul kembali dengan melontarkan pertanyaan, Maher Zein itu dari Malaysia ya mbak? Masih untung Mbak Lini tidak menanggapinya dengan tertawa mengejek (untuk wawasan musikku yang sangat sempit, musik religi yang aku tahu paling banter ya cuma Opick, Hadad Alwi, dan siapa itu namanya anak perempuan, lupa dah).

Setelah itu, aku tidak ingat lagi bagaimana pembicaraan kami selanjutnya. Dengan sangat tiba-tiba, tidak ada angin, tidak ada hujan, ia menangis. Aku jadi bingung harus bagaimana menghadapinya, lalu kusodorkan tisu yang ada di mejaku. Apakah ada dari perkataanku semejak pagi tadi yang menyinggungnya, secara aku masih anak ingusan ini, jauh lebih muda darinya dari segi usia, tapi sok-sok an menasihatinya soal puasa dan agama. Sambil menangis, ia berkata sangat pelan sampai aku tak bisa mendengarnya, yang bisa kutangkap hanya, ia ingin pergi ke Turki, ia ingin lebih dekat dengan Allah.

Belum selesai ia bicara, aku sudah ngomong, ‘aku juga pengen sih mbak ke Turki, setelah tahu dari Felix Siauw, tahu Felix Siauw kan mbak, ustadz Cina yang dulu muallaf ituloh, kalau di Turki itu dulu ada penaklukan Konstantinopel, Islam jadi berkuasa disana, trus aku juga baca bukunya yang tentang penaklukan itu, bla bla bla…dan sifat sok berwawasan yang menyebalkan. Hampir saja aku ikut meneteskan air mata ketika mbak Dian muncul. Melihat mbak Lini tersedu sedan dan mengusap air matanya dengan tisu, spontan mbak Dian bertanya, ‘kamu kenopo Lin?’, tapi mbak Lini tidak menanggapinya dan langsung kembali ke mejanya. Aku tahu, ada hal-hal yang dia merasa nyaman diceritakan padaku, tetapi tidak ke mbak Dian.

Karena merasa tidak enak, aku melanjutkan pembicaraan via skype, begini percakapan kami:

[12:53:46] lini amalia: sorry gin, aku cuman ingin lebih deket sama Allah.

[12:54:35] ginza devisi amerina: ya aku jg mbak, pengen lebih deket sama Allah, pengen belajar agama

[12:54:55] lini amalia: aku pingin tabung lalu ikut umroh yang ada wisata ke turki

[12:55:41] ginza devisi amerina: aku tertarik sama Turki dari ceritanya Felix Siauw, aku baca bukunya jg yg tentang penaklukan konstatinopel

[12:55:51] ginza devisi amerina: Muhammad Al Fatih 1453

[12:56:18] lini amalia: iya aku tau cerita al fatih, tapi aku pingin ketemu erdogan

[12:56:59] ginza devisi amerina: walah, kenapa Erdogan?

[12:57:13] ginza devisi amerina: kamu ngikuti perkembangan politik dunia juga ya, hahahaaa

[12:57:40] lini amalia: aku ngikuti perkembangan dunia islam

[12:58:20] ginza devisi amerina: Erdogan opo’o mbak

[12:58:39] ginza devisi amerina: aku cuma denger2 sekilas saja namanya, gak ngikutin secara penuh

[12:59:15] lini amalia: dia orangnya karismatik, selalu bicara semua karena Allah, dia sampai bisa membawa turki ke negara yang menyaingi uni Eropa

[12:59:38] lini amalia: wanita di turki sekarang harus pakai jilbab

[12:59:46] ginza devisi amerina: aku denger dia banyak menampung pengungsi dari Syria yaaa

[13:00:20] ginza devisi amerina: itu masih susah diterapkan di Indonesia

[13:00:29] lini amalia: iya, bukan dari syria saja Pakistan juga

[13:00:35] lini amalia: palestina

[13:01:39] ginza devisi amerina: ya semoga mimpimu terwujud mbak

[13:01:52] lini amalia: iya gin, kamu juga

[13:01:52] ginza devisi amerina: doa yg baik akan kembali ke yg mendoakan

[13:02:04] ginza devisi amerina: selama ini tau Turki cuma dari novel2nya Orhan Pamuk

[13:02:12] ginza devisi amerina: dia itu peraih nobel sastra dari Turki

[13:02:40] lini amalia: aku jarang baca sih, ngg sempet, liat di you tube saja

[13:03:09] ginza devisi amerina: semangat mbak!!

[13:03:16] ginza devisi amerina: kaget aku tiba2 kamu td nangis

[13:03:19] lini amalia: ok

Aku hanya tidak menyangka mbak Lini memiliki ambisi sebesar itu, bertemu Erdogan! Kalau aku punya kesempatan ke Turki, mungkin aku akan memliki ambisi yang serupa, bertemu Orhan Pamuk! Peraih nobel sastra tahun 2006 itu adalah orang kedua setelah Felix Siauw yang memperkenalkanku dengan Turki. Membicarakan soal Turki dan juga jilbab yang sempat disinggung mbak Lini tadi, aku jadi ingat salah satu novelnya, Salju, pokok persoalan yang diangkat adalah Jilbab. Orhan Pamuk mengemukakan perspektif lain tentang jilbab di negerinya.

Dari ketiga buku Orhan Pamuk yang sudah kubaca, dua novel dan satu memoar berjudul Istanbul, secara tersirat menggambarkan bagaimana orang-orang Turki sedang galau menghadapi gempuran budaya timur dan barat. Dari kedua novelnya pula (Snow dan My Name is Red), Orhan Pamuk menempatkan posisi perempuan tidak sebagai objek, melainkan sebagai pemilik kuasa dan penentu pilihan, sehingga tokoh laki-laki harus tunduk karena rasa cintanya pada tokoh perempuan. Dari kedua novelnya, aku lebih suka My Name is Red, meskipun dalam Snow, kisah percintaan dan konfliknya lebih pelik.

Yang belum kuutarakan dan hanya sempat kukatakan dalam hati: apapun itu, setiap keputusan yang kuambil, haruslah yang bisa mendekatkanku dengan Allah. Bukan begitu, mbak Lini?


sosialisasi

Aku dibilang tidak peka (bukan kurang lagi, tapi tidak), tentu aku tidak terima. Tapi lambat laun kusadari, memang begitulah kenyataannya. Aku kerap kali abai terhadap lingkungan dan hal-hal di sekelilingku. Kalau sudah begini, aku hanya berharap kau mampu memahami kenapa aku bersikap seperti itu, sambil aku mencoba merubah perilaku menjadi orang yang lebih bersahabat. Itu tantangan yang aku dapat, darimu. Untuk menjawab tantangan itu, aku mulai bersosialisasi.

Yang satu ini memang boleh dibilang agak nekat. Sabtu kemarin aku mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari baju, apa yang akan kubawa, bagaimana aku berbicara. Aku berkunjung ke rumahmu untuk menemui orang tuamu. Tetapi aku sudah meminta izin padamu, sehingga kupikir ini tak lagi jadi soal. Terlepas dari fakta bahwa aku menemui orang tua dari lelaki yang kucinta, satu hal yang selalu aku cari ketika berjumpa dengan sebuah keluarga adalah kebahagiaan melihat keluarga yang bahagia, baik, utuh, yang tidak kumiliki. Itu yang kulihat di rumahmu.

Begitu pula dengan keluarga – keluarga bahagia yang kujumpai sebelumnya, aku betah berlama-lama ada di rumah yang dihuni oleh keluarga semacam ini, karena tidak kutemukan di rumahku sendiri. Aku pernah menuliskannya, disitu aku membuat daftar keluarga – keluarga bahagia yang kujumpai sepanjang hidupku. Aku menemukan kebahagiaan disana. Namun, aku hanya bisa menemukan, melihat, dan merasakannya untuk sesaat saja. Sekembalinya ke realita dan ke rumah, upayaku mencari kebahagiaan malah membuatku sangat sedih.

Masih ada pertanyaan dari hati kecilku yang terus mengusikku dari dulu: kenapa aku terlahir dari keluarga yang broken home, kenapa ini yang jadi jalan hidupku, kenapa harus aku, sementara masih banyak orang tua dan keluarga di luar sana yang harmonis dan baik-baik saja. Pertanyaan-pertanyaan serupa itu berujung pada sebuah pernyataan, mungkin jika saja aku dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, bahagia, dan utuh, aku akan menjadi orang yang berbeda dari aku yang sekarang, dalam artian versiku yang lebih baik.

Hari minggu jam sepuluh pagi, aku memutuskan menuliskan pengalamanku bersosialisasi hari ini. Padahal baru jam sepuluh, ini jadi salah satu hari libur yang produktif bagiku, karena biasanya di hari libur, aku hanya membaca dan tiduran saja, kegiatan yang tidak bisa diganggu gugat. Bahkan sebelum ini, aku mendifinisikan produktif adalah dari seberapa banyak buku yang sudah kubaca.

Mamaku juga turut andil dalam memberikan pengalaman baru ini bagiku. Ia pergi ke Madiun hari ini dengan teman-teman guru di sekolahnya lantaran salah seorang guru pensiun lalu pindah ke Madiun, dan guru-guru yang lain turut mengantarkannya, termasuk mamaku. Sabtu malamnya, aku dititipi mamaku untuk belanja ke pasar Karah. Nah, kebetulan aku mau datang ke pengajian yang diadakan oleh masjid Al Huda yang lokasinya dekat sekali dengan pasar Karah.

Pengajian Ahad Pagi, sesuai namanya, diadakan di hari minggu sebulan sekali tiap awal bulan, dimulai pukul enam pagi dan selesai satu setengah jam kemudian. Mama bilang kalau hari minggu biasanya ikan dan bawang merah goreng yang akan dibeli cepat habis, tetapi mamaku mengerti kalau aku akan tetap ikut kajian dan ia tidak masalah kalau aku baru ke pasar sekitar jam delapan seusai kajian, ia juga tidak akan mempermasalahkan apapun yang kudapat nanti dari pasar. Selepas subuh, aku tidak tidur lagi, tapi menyempatkan diri untuk ‘say goodbye’ dengan mamaku, adikku Dani yang mengantar mama ke sekolah.

Daftar belanja yang harus kubeli hanya sedikit: beli ikan bandeng di bapak yang di depan kuburan (ikan bandengnya tidak usah dibersihkan sisiknya, kalau kecil beli 4, kalau besar 2 saja, ukuran besar kecilnya seperti apa juga aku tidak tahu, dan juga kalau ada beli ikan lain, kerang atau udang), tak seberapa jauh, masih sejajar dengan Bapak yang jual ikan, beli bawang merah goreng sepuluh, yang jual bapak-bapak juga, terakhir dekat dengan tempat beli bawang merah goreng, tetapi di seberangnya, beli bumbu ungkep jadi, yang jual mas-mas. Tetapi aku tahu, mamaku menyadari bahwa perhatianku tak sepenuhnya fokus pada penjelasannya.

Ini tugas yang mudah, pikirku, walaupun pasar adalah salah satu tempat yang kubenci. Kalau toko buku adalah tempat favoritku, maka bisa jadi aku akan meletakkan pasar dalam daftar tempat yang paling kubenci nomor satu. Di tempat yang jual ikan, aku masih menanyakan, ‘ini ikan Bandeng ya Pak?’ dan yang kutunjuk adalah dua ekor ikan bandeng terakhir yang ada di meja. ‘Kalau jadi beli ikan bandengnya, tak taruh di timbangan dulu, nanti diambil orang’, kata Bapak penjualnya sambil menghentikan pekerjaannya memotong ikan dan meletakkan dua ekor ikan bandeng terakhir. Benar apa kata mama. Beruntung aku masih bisa membawa pulang ikan bandeng, supaya aku tidak dicap anak durhaka.

Ketika bapak itu menananyakan, ‘disisik nggak?’, aku spontan menjawab iya. Beberapa detik kemudian kusadari jawabanku salah, ini ada hubungannya dengan tulisanku sebelumnya, aku memang sudah kehilangan fokus sejak awal. Cepat-cepat aku merivisi jawabanku, ‘tapi bersihinnya jangan bersih-bersih ya Pak’. Kalau aku menjawab nggak jadi disisik, aku akan terlihat sangat bodoh diantara ibu-ibu yang dilihat dari wajahnya sudah tidak sabar membawa pulang ikan apa saja yang ada di meja di hadapan kami. Ikan lain yang kubeli adalah udang, aku beli seperempat kilo.

Setelah itu aku berjalan pelan-pelan, takut melewatkan bapak penjual bawang merah goreng. Aku tidak bisa menemukannya, jadi kuputuskan langsung saja ke mas-mas yang jual bumbu, kan tidak harus sesuai dengan urutan yang dibilang oleh mamaku. Harganya tiga ribu, cocok dengan yang dibilang mama. Kemudian aku kembali mencari penjual bawang merah goreng, sampai aku bolak-balik berkali-kali, tetapi tetap saja tak bisa menemukannya, mungkin sudah habis. Aku malah bertemu dengan seorang tetangga lama yang memakai seragam Yakult bernama mbak Mun.

Aku sudah ingin menghindar ketika ia mengarahkan pandangan ke arahku. Kamipun tersenyum dan bersalaman, ‘pangling’, itu yang ia bilang sambil melihatku. ‘Kerja dimana sekarang?’, aku jawab di Perak. Sepertinya ia menginginkan penjelasan lebih lanjut, maka akupun memberikan sedikit keterangan aku bekerja di bidang apa. ‘Kalau ada lowongan, titip Lutfi’, hemm..pola percakapan yang sudah bisa ditebak. Lutfi ini nama anaknya, seingatku mbak Mun ini punya dua anak laki-laki, lalu bercerita sekarang Lutfi kerja pemasaran online dan semacamnya dan aku mulai kehilangan fokus dan gajinya hanya satu setengah juta dan itu tidak cukup kalau sudah punya anak istri.

Tanggapanku sewajarnya saja yang bisa aku (dan semua orang lain dalam keadaan seperti aku) utarakan, walaupun agak kaku juga, ‘iya nanti kalau ada info lowongan’. Pertanyaan selanjutnya, ‘mama mana?’, dan ia tak perlu repot-repot melanjutkan dengan, ‘tumben kamu yang ke pasar’, aku langsung menjawab bahwa mama sedang ada acara di sekolah, pergi ke Madiun, berangkat sehabis subuh, jadi aku yang disuruh ke pasar.

Oh iya, di masjid Al Huda seusai pengajian tadi, aku bertemu dengan bu Arifin, salah satu teman tadarus dulu pada saat bulan Ramadhan. Yang ditanyakan juga sama, ‘sendirian aja mbak, mama nggak ikut?’. Ramadhan tahun ini beberapa kali aku sholat tarawih di Masjid Al Huda dan bertemu bu Arifin juga. Tadarusnya masih ada loh, hanya saja aku yang sudah tidak berada diantara mereka. Ketika aku ikut tadarus setelah tarawih, itu sudah lama sekali, saat aku kuliah.

Karena tidak ingin berlama-lama di pasar, aku memutuskan menyerah saja tanpa membawa bawang merah goreng ke rumah. Mamaku pasti mengerti. Sebelum pulang, aku mampir membeli koran terlebih dahulu. Di sepanjang gang, sudah ramai orang kerja bakti, aku sudah tahu ada undangan kerja bakti tergeletak di meja, mama sempat bilang, ‘besok Agra tak suruh ikut kerja bakti pagi-pagi, gak enak sama orang-orang’. Biasanya dari rumah kami juga tidak ada yang ikut, tapi mamaku selalu menyediakan minuman dan makanan.

Di depan rumah, ada mbak Ismi dan Ayu yang sedang membuat apalah itu aku tahu, sampai – sampai aku berkata ‘amit’ ke mereka untuk masuk ke rumahku sendiri. Dalam perjalanan pulang aku sudah merencakan daftar kegiatan yang akan kulakukan sesampainya di rumah: sarapan, sholat dhuha, baca koran, lanjut baca novel. Saat makan nasi bungkus yang dibeli mama pagi-pagi (karena tidak sempat memasak), hati nurani dan jiwa sosialku seakan memanggil, aku harus keluar dan bergabung dengan orang-orang. Berat sekali memang, meskipun hanya berjalan lima langkah.

Perut kenyang, koran ada di sofa, kulihat jam tangan, sholat dhuha masih bisa jam sepuluh, ini baru setengah sembilan. Aku berbaur dengan Ayu dan mbak Ismi, ‘apa yang bisa kubantu?’, sungguh berhadapan dengan lebih dari satu orang masih membuatku gugup setengah mati, padahal mereka hanyalah tetangga kanan kiri. Ada mbak Atik juga, yang langsung menanyakan, ‘mama kemana mbak?’, ‘mama ke Madiun, acara sekolah, makanya aku keluar, hehee’, aku menjawab dengan senyum yang agak dipaksakan. Lantas aku merasakan orang-orang di sepanjang gang melirik ke arahku (ini bagian yang berlebihan), tetapi aku memang tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Aku selalu mendekam di kamar dan mendengar ada keramaian di bawah dari sana.

Rupanya mereka sedang membuat hiasan untuk digantung, terbuat dari gelas plastik bekas, dibelah-belah sisinya, dibalik, dibuat sedemikian rupa, kemudian dicat merah selang-seling. Keren, tapi sungguh aku orang yang sangat malas untuk mengambil foto. Dari situ, pembicaraan dengan Mbak Ismi mengalir walaupun awalnya aku agak kaku. Mbak Ismi ini salah satu pembaca setia dari buku-buku di perpustakaan kecil kami. ‘ Dari mana mbak? ‘Selain Rahasia Meede, apalagi ya yang bagus?’, ‘Tadi aku lihat masnya mbak Ginza keluar’. Dia bukan masku, tapi adikku, tapi ketika kami sedang berdua, banyak yang mengira, dia kakak dan dia adik. Ayu pun menimpali, ‘Alhamdulillah berarti awet muda mbak’.

Seperti yang pernah diceritakan mamaku, ibunya mbak Ismi punya usaha percetakan, dan ia mulai bercerita tentang itu. Akupun iseng menanyakan, aku mau membukukan puisiku, ya paling banyak mungkin jadi tujuh puluh halaman, cover belum ada, aku mau cetak sekitar dua puluh biji saja, mau kukasih ke orang-orang tertentu, berapa biayanya, dan segala macamnya. Setelah kupikir cukup untuk berada di luar, diam-diam aku masuk ke rumah, tapi lihat nih buktinya, tanganku kotor kena cat. Tapi berhubung warna merah, biarkan saja, tak perlu dicuci sampai bersih sekali.

Sebenarnya kerja bakti hari ini bukan saja untuk memeriahkan hari kemerdekaan Indonesia, tetapi juga dalam rangka mengikuti program Merdeka Dari Sampah, akan ada kunjugan dan penilaian dari juri pada hari Selasa, 8 Agustus. Itu yang kutahu dari mamaku, juga kubaca di undangan. Di rumahku sendiri, juga tak kalah heboh, aku disuruh mama membuat origami untuk hiasan di perpustakan (sekaligus tempat sepeda motor), Agra disuruh membersihkan dan mengepel, mama mencetak foto-foto untuk dipajang.

Pada akhirnya, setelah semua keramaian itu, aku menemukan diriku kembali bersama buku. Aku menuliskan ini sebagai jawaban untuk tantangan yang diberikan oleh seseorang, jadi bisa dibilang semacam laporan. Mungkin aku begitu menyebalkan sampai dia tidak mau lagi mendengarku bercerita, semoga ia membaca, atau kalau tidak, akan kupaksa dia membaca. Selepas sholat dhuhur, aku mau beli bakso di pasar Pagesangan (karena kalau beli bakso di Dupak Rukun kejauhan dan lagi belum matang), enaknya makan disana ya, tak usah dibungkus bawa pulang, itung-itung sekalian sosialisasi, hihihiii.


disorientasi

Orang pertama yang kutemui di kantor hari ini adalah bosku, setelah pak satpam, penjaga tempat parkir motor, yang tentu saja tak perlu diperhitungkan, karena ia selalu ada disana menyambut kedatangan kami. Memakai kemeja warna merah, haruskah kutegaskan lagi kalau itu warna kesukaanku, bosku berdiri di samping pos satpam, menghembuskan asap rokok, saat aku tersenyum menyapanya.

Persediaan bukuku sudah habis, dan aku masih tenang-tenang saja, belum tergerak untuk pergi ke toko buku. Tidak, ini bukan perkara uang. Meskipun ini tanggal tua, bahkan uang gajiku bulan kemarin masih lebih dari separuh ada di rekening. Apa yang terjadi dengan diriku, aku masih tak tahu. Aku membawa The Dinner kemana-mana, tetapi aku merasa berjarak dengannya. Maaf ya buku, kamu kusisihkan dulu.

Jumat sore tiga minggu yang lalu, sebelum berangkat ke Bandung, melalui skype, aku pamitan pada bosku kalau aku tidak masuk hari senin. Karena aku meminta persetujuan cuti langsung ke Manager, jadi dia belum tahu. Tanggapannya baik (Oh, dia memang selalu bersikap baik padaku), ‘istirahat sebentar buat refresh pikiran’, begitu dia bilang, setelah sebelumnya menanyakan apakah ada pendingan pekerjaan dan memastikan kembali kalau aku sudah setahun lebih bekerja disini. Kujawab sudah setengah tahun lebih. Tanggapannya lagi-lagi baik, ‘good, please maintain’.

Aku merasa bersalah padanya. Mungkin jika ia tahu aku akan begini jadinya sekembalinya dari Bandung, dia akan menarik kembali ucapannya dan berusaha menahanku disini saja. Pikiranku seperti hilang setengahnya entah kemana. Aku susah fokus pada pekerjaaanku dan mendadak pelupa, selalu harus diingatkan bahwa pekerjaanku yang ini belum selesai, dan yang itu perlu di follow up. Tak pelak, kesalahan demi kesalahan pun muncul, yang pada akhirnya ketahuan juga, walaupun sudah berusaha kututup-tutupi, hiks..

Tapi sungguh, ia masih sabar menghadapiku. Bukannya aku merasa diperhatikan, tapi aku yakin atasanku itu merasakan perbedaan yang terjadi padaku. Tatapan matanya seperti berkata: ‘kamu kenapa sih Ginza, jadi payah begini’. Barangkali yang tidak ia sadari, semua ini terjadi sejak aku kembali dari cuti. Oh Pak Bosku, kalau kinerjaku memang memburuk, aku rela dan pasrah diberhentikan saja. Tapi aku tidak yakin, kau akan menemukan seseorang yang lebih baik dariku, hahahaaa. (Oh Tuhan, ampuni hambaMU yang selalu terbesit rasa sombong di hatinya ini).

Kalau mau kusebut satu persatu, memang ada yang hilang sejak aku kembali dari Bandung: konsentrasi, orientasi, dan juga sebagian kecil berat badan :D. Mengenai konsentrasi sudah kujelaskan panjang lebar pada paragraf di atas, dan berat badan tidak perlu dibahas. Orientasi dalam aplikasi KBBI V yang ku download dari google store memiliki pengertian: 1. n peninjauan untuk menentukan sikap yang tepat dan benar, 2. n pandangan yang mendasari pikiran, perhatian, dan kecenderungan. Menurut pengertian tersebut, orientasi masih sebatas pemikiran dan pandangan.

Jelas dan terang bahwa aku adalah sesorang yang penyendiri, pendiam, introvert, kuper, cuek, anti sosial, dan lain sebagainya. Tentu aku memiliki pertimbangan dan alasan tertentu yang mendasari kenapa aku bersikap seperti itu. Buku menjadi teman yang cocok untuk orang seperti aku. Aku tak tahu bagaimana awalnya, apakah karena kesepian yang membuatku berteman baik dengan buku, atau buku lah yang malah membuatku menjadi penyendiri dan menutup diri dari dunia luar.

Sayangnya, dari semua buku yang kubaca, aku terperangkap pada sosok Holden Caulfield dalam The Catcher in the Rye, si tukang komen dan pengumpat itu, yang berbicara dengan dirinya sendiri, tentang semua hal yang ada di sekitarnya. Namun paling tidak, sampai saat ini buku tidak pernah mengecewakanku, tetapi manusia, berkali-kali membuatku kecewa. Ah, aku harus mengulanginya berulang kali, kecewa hanyalah suatu bentuk perasaan ketika kenyataan tak sesuai dengan harapan.

Rupanya saat ini, aku sedang kehilangan orientasi. Aku mencoba meninjau dan memikirkan kembali bagaimana jika sikapku berbeda, tetapi belum menentukan langkah seperti apa yang akan kuambil. Aku mencoba membuka pikiran, menjadi seseorang yang open minded, bukan narrow minded. Aku sudah menemukan alasan-alasan untuk itu, tetapi aku tidak tahu apa yang kutuju. Aku tidak tahu ini akan berakhir baik atau buruk untukku. Tetapi semuanya layak dan patut untuk dicoba.

Seperti minggu lalu, aku mengajak seorang teman kantor makan malam di luar sepulang kerja, karena sepertinya memang ada yang ingin diceritakannya padaku. Benar saja, aku sampai menandaskan dua porsi bakso sambil mendengarkan ceritanya. Aku jadi tahu sebagian kisah hidupnya dan alasan-alasan yang mendasari bagaimana dia bersikap dan mengambil keputusan. Karena aku yang mengajaknya dan dia sedang ada masalah, aku tahu diri untuk mentraktirnya, tapi aku tidak ada masalah dengan itu. Aku sudah tahu bahwa ketika memutuskan untuk menjalin pertemanan, aku akan lebih sering menghabiskan waktu di luar, ini berarti aku akan mengeluarkan lebih banyak uang. Lagi-lagi aku tidak ada masalah dengan itu.

Istirahat siang tadi, aku mencoba mengajak ngobrol seseorang (walaupun masih pilih-pilih juga sih), lalu aku juga menjalin kontak dengan beberapa teman lama dalam beberapa hari terakhir. Seru juga mengetahui berbagai macam karakter orang. Ada yang benar-benar baik, ada juga yang busuk (kayak aku enggak aja). Maksudku, terlihat baik di luar, padahal sebenarnya ada maksud tertentu dibaliknya, seperti ada sesuatu yang ingin dipamerkan atau disombongkan. Aku bisa melihat dan merasakan itu. Tetapi ya memang ada sih, orang-orang yang busuk luar dalam, bagaimana juga tidak bisa dipungkiri, orang-orang seperti itu ada di muka bumi ini.

Aku baru memulai dan sekali lagi, aku tidak tahu ini akan jadi baik atau buruk untukku. Kadang yang menurutku kita baik belum tentu baik untuk kita, begitupun apa yang menurut kita buruk belum tentu buruk untuk kita. Aku juga tidak tahu nantinya di akhir cerita, apakah ini akan menjadikanku seseorang yang lebih baik, tetapi tentu itu harapanku. Aku sudah mulai merasakan perubahan itu. Pada akhirnya, tulisan yang seperti ini, semakin menyadarkanku bahwa aku tidak punya teman untuk bercerita, sampai harus mengungkapkannya dalam bentuk tulisan untuk membuatku sedikit lega. Menyedihkan.


tribute to Chester Bennington

Pertama kali kenal Chester Bennington, aku masih duduk di kelas satu SMP. Teman sekelasku, namanya Kurnia, mengenalkan Linkin Park padaku. Mulai saat itu, kami mengumpulkan uang saku untuk membeli kaset Linkin Park. Saat mengetahui berita kematian sang vokalis, aku seperti terlempar ke masa lalu, sekira lebih dari lima belas tahun yang lalu. Kami mendengarkan lagu-lagunya, mengidolakan musiknya. Tak ayal, kamipun mengagumi vokalisnya, Chester Bennington, juga Mike Shinoda. Salah satu group band favorit. Sejujurnya, aku tak akan terlalu terkejut, terpukul, ataupun merasakan luapan emosi tertentu dengan kabar kematian Chester Bennington jika saja ia meninggal dunia secara wajar. Tapi ini bunuh diri. Pada usia 41. Setelah mengingat-ingat jaman SMP, saat ini, masih segar di ingatanku, penulis Jepang peraih nobel sastra, yang dua bukunya baru selesai kubaca, Yasunari Kawabata, juga meninggal dunia dengan cara yang sama. Aku tak habis pikir, heran dan penasaran, apa yang ada di pikiran orang-orang ‘gila’ itu sampai mereka memutuskan mengakhiri hidup dengan cara seperti itu. Sepulang kerja hari ini, aku mengubek-ubek rak buku paling bawah, tempat kaset dan juga DVD (keren juga mamaku menyimpan barang-barang itu melampaui waktu), mencari kaset Linkin Park, seingatku aku juga membeli kaset albumnya yang Meteora, selain Hybrid Theory, hasil dari menyisihkan uang saku, mungkin selama sebulan. Masa SMP, aku masih beranjak ke usia tanggung belasan, belum bisa disebut remaja, sementara Chester Bennington adalah pemuda berusia dua puluh lima tahun, vokalis band rock terkenal. He was a hot guy at that time! Selepas SMP, aku sudah tidak terlalu mengikuti perkembangan band ini, tetapi memutuskan untuk tetap mengenangnya sebagai band favorit yang lagu-lagunya pernah memenuhi hari-hariku di masa yang lebih lampau. SMA berselang, keberadaan kaset sudah semakin tergerus dengan perkembangan teknologi digital. Di laptop, aku menyimpan dua folder album Linkin Park yang dirilis lebih akhir: A Thousand Suns dan Living Things, yang ku download secara gratis di internet. Sudah barang tentu, intensitasku mendengarkan kedua albumnya yang itu tidak sekencang ketika masih SMP dengan Hybrid Theory dan Meteora, mungkin karena referensi musikku sudah semakin luas, bisa juga karena aku sudah sibuk dengan hobi dan kegiatan yang lain. Bagaimanapun juga, Linkin Park adalah band rock dari luar negeri pertama yang kukenal dan lagu-lagunya kudengar dengan tekun pada suatu masa di hidupku. In the end (cieee…ini salah satu judul lagunya LP), tulisan ini tidak lain dan tidak bukan menunjukkan, betapa aku….sudah tuaaa!!


tentang bertahan hidup

Berat sekali rasanya menulis lagi setelah hampir tujuh bulan tidak menulis. Mood. Ah, apa sih, aku benci kata itu. Moodku sedang buruk, perasaanku sedang buruk. Aku tidak tahu harus menulis apa dengan kondisi seperti, dan menulis adalah pekerjaan mengingat, daftar kegiatan paling atas yang paling kuhindari di masa-masa seperti ini. Jadi aku hanya membaca, membaca, dan membaca………………..dengan sangat lamban. Paling tidak, aku bisa bertemu dengan orang – orang baru yang keren, berada di tempat baru, mengalami suasana psikologis yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, di dalam buku,

Hari senin minggu lalu, di kantor mati lampu sejak pagi. Dari parkiran motor, aku berjalan memasuki kantor. Di samping ruang security, aku melihat bosku duduk ndodok dan ngudud. Dari mulutnya keluar asap dan tangan kanannya memegang rokok. Mau tak mau, aku menyapanya. Masih pagi sekali sampai aku mengira office boy belum menyalakan lampu dan AC. Tak lama kemudian, kudengar suara sepatu bosku mengetuk lantai, tuk tuk tuk…kemudian suaranya sendiri, ‘masih belum nyala ya Gin’…Argghh….pantesan, jadi dari tadi memang mati listrik.

Dalam keadaan panas dan tak bisa mengerjakan apa-apa itulah kemudian aku mengambil pulpen dan kertas. Laptop awalnya masih bisa menyala, tetapi server mati, jadi tidak bisa cek email. Ternyata mati listrik hanya terjadi di lantai tiga, ruanganku bekerja. Ruang server terletak di lantai tiga, dan jika itu mati, maka berdampak ke seluruh kantor. Karyawan yang bagian mengurusi IT mengambil kabel roll, lalu menyambungkan listrik dari lantai dua, dan tentu saja yang kebagian listrik hanya beberapa orang yang mejanya di dekat tangga. Aku yang ada sudut pojokan tak bisa ikut menikmatinya. Ketika server sudah berhasil nyala, listrik masih mati, dan baterai laptop habis. Cocok sudah, maka aku mulai menulis dengan pulpen dan kertas. Aku menulis bagaimana aku terkesan dengan Room, sampai selesai satu paragraf, dan listriknya nyala, duaarr…..mood menulis langsung hilang, ini kata lain bahwa aku harus kembali bekerja. Sayangnya, mood tak hanya membawa hasrat menulis lenyap entah kemana, namun juga hasrat bekerja. Enam menit menuju waktu istirahat hari itu dan kertas itu tergelatak begitu saja ditumpuki kertas-kertas lain, sampai aku menemukan kembali potongan kertas itu di meja kantor hari ini.

Room – Emma Donoghue

Salah satu buku terbaik yang kubaca. Lagi-lagi, buku ini adalah rekomendasi dari satu-satunya sahabat yang kumiliki saat ini. Sebetulnya tidak bisa disebut rekomendasi, tetapi aku tahu Room itu tatkala sahabatku, yang tinggal di Jogja, nitip untuk dibelikan buku itu, juga satu buku lainnya, The Rosie Project (yang ini aku sudah baca, terjemahannya tentu saja, terbitan Gramedia, dan aku juga sukaaa) di BBW yang diselenggarakan di Surabaya pada pertengahan Oktober tahun lalu. BBW stands for Big Bad Wolf, bazar buku import terbesar di Indonesia, dan Surabaya semestinya beruntung didatangi event sebesar ini, I’ve never seen so many books in a big room, sampai aku merekomendasikan ke teman-teman kantor untuk berkunjung ke sana.

Aku kesana dua kali, pertama sendiri, langsung sepulang kantor ke tempat acara, hari kamis, hari pertama acara dibuka, memakai celana putih dan kemeja kotak-kotak biru putih, jilbab warna biru, aahh….sepertinya ini tidak penting untuk dijelaskan dan kenapa aku masih ingat, aku kan benci mengingat, dan juga ingatan. Kedua, aku beserta mama. Hampir semua yang dijual adalah buku import dengan bahasa asli, hanya sekitar 10% saja buku berbahasa Indonesia, termasuk di dalamnya terjemahan terbitan Mizan. Dari kedua kunjunganku tersebut, aku beli the The Ghost Bride (sudah kubaca), The Monk who Sold His Ferrari (belum kubaca, padahal aku sudah beli buku ini dalam bahasa aslinya), dan buku apalagi ya….aduh lupa (apakah aku senang aku lupa?). Tentu saja aku hanya berkelana di sudut yang 10% itu.

The Rosie Project – Graeme Simsion dan Room – Emma Donoghue, adalah dua buku yang dipesan oleh sahabatku itu. Jadi sebenarnya kedua buku itu sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia, tapi ya memang dia gaya sih, mentang-mentang dia lulusan PBI (Pendidikan Bahasa Inggris) dan saat inipun sedang menempuh MPBI (Magister Pendidikan Bahasa Inggris), walaupun lagi cuti kuliah enam bulan (rencananya), karena memilih untuk fokus menjahit baju pengantin…hihiihiiii, ditambah lagi pengalamannya bertahun-tahun mengajar bahasa Inggris (lihat saja nih aku, salah satu mantan muridnya), baginya, baca buku berbahasa Indonesia itu nggak level.

Selama tujuh bulan aku tidak menulis, dan dengan kecepatan yang lambat dalam membaca, aku menghabiskan uang untuk membeli buku, lantas aku menumpuk buku, kemudian aku jadi punya semangat dan motivasi lagi untuk membaca karena tidak tahan melihat tumpukan buku baru yang masih gres dibungkus plastik. Aku harus membaca untuk menghabiskan waktu dan menghindari pekerjaan mengingat yang tak pernah kuinginkan. Begitulah siklus hidupku untuk bertahan. Ah aku bisa saja aku mencari cara supaya tulisan ini nyambung dengan judulnya.

Apakah bertahan hidup itu susah? Jangan tanyakan pada orang-orang yang hidup dalam keadaan normal, seperti apa batasan normal dan tidak normal? Coba bayangkan sejak lahir hingga usia lima tahun, Jack harus tinggal berdua dengan ibunya, yang ia panggil Ma, di sebuah kamar yang mungkin seukuran kamar kita. Jack dan Ma harus menjalani hidup terkurung dalam sebuah ruangan yang serba terbatas. Sampai di saat Jack berusia lima tahun, ia ‘dimaanfaatkan’ oleh ibunya untuk membantunya melarikan diri dari kamar itu. Aku punya alasan mengapa harus ‘negative thinking’ dengan Ma, mungkin ini sudut pandang lain yang tidak engkau di ulasan-ulasan lain mengenai buku ini.

Ma punya pilihan lain soal Jack, bisa saja dia menggugurkan kandungannya alias aborsi atau menyuruh Nick ‘membuang’ Jack di depan pintu asuhan ketika ia masih bayi. Tapi Ma tidak melakukannya. Siapa Nick ini? Dia adalah ayah Jack, yang juga penculik Ma saat usia Ma sembilan belas tahun, yang kemudian mengurung Ma (ataukah bisa disebut menyandera?) hingga Ma berhasil kabur berkat bantuan Jack. Tujuh tahun Ma mengalami penyanderaan itu, dan di tahun kedua ketika Jack lahir, Ma memilih membesarkannya. Untuk apa? Karena ia optimis, karena ia yakin suatu saat nanti, ia bisa keluar dari keadaan tersebut. Keyakinan itulah yang membuatnya bertahan hidup, dan Jack adalah motivasinya.

Bab pertama buku ini membuatku bosan setengah mati, terlebih lagi aku masih penasaran keadaan seperti apa yang sebenarnya dialami oleh Ma dan Jack. Mereka hanya bermain-main di dalam kamar, melakukan segala sesuatu di dalam kamar, tidak bisa keluar, hanya sebuah Jendela Langit, (begitulah istilah yang mereka sebut, menurut tebakanku adalah sebuah jendela kaca seperti biasa, namun letaknya bukan di dinding, melainkan di atap), satu-satunya yang menghubungkan mereka dengan dunia luar.

Aku dilanda perasaan pesimis apakah aku bisa menyelesaian buku ini kurang dari sebulan, saat membaca bab pertama, karena disitu mendeskripsikan benda-benda yang ada di kamar, permainan-permainan yang mereka lakukan dalam kamar, waktu makan, tidur, mandi yang selalu sesuai jadwal setiap harinya, Jack yang selalu tidur di lemari tiap malam kemudian terbangun tiap pagi di tempat tidur. Nick yang datang setiap malam untuk mengambil sampah dan mengantarkan perbekalan (apakah ini istilah yang tepat?), lebih tepatnya kebutuhan untuk hidup, seperti makanan, sabun, dan lain-lain sesuai permintaan Ma dan Jack. Selain dua hal itu, entah apalagi yang dilakukan Nick terhadap Ma, sampai-sampai Ma menyuruh Jack untuk tidur di lemari tiap malam. Ah, mungkin Ma hanya tidak ingin Jack mengenal ayahnya yang seorang penjahat. Tapi rasanya tidak mungkin kalau penculikan dan penyanderaan seperti itu tidak disertai oleh pelecehan seksual.

Setelah bab satu terlewati, bab dua, tiga, dan seterusnya, aku tidak bisa berhenti baca….ceritanya terfokus pada kondisi psikologis dan mental, juga perilaku Jack setelah dia keluar dari ‘room’, setelah dia mengetahui ada manusia lain selain dirinya dan Ma, yang selama ini hanya ia lihat di TV (iya, di kamar penyekapan itu ada TV nya). Jack mengira, yang ‘nyata’ adalah dia, Ma, kamar yang ia tempati, dan seisi kamar tersebut. Bahkan Nick pun, masih ia anggap tidak nyata karena dia tidak pernah melihat sosoknya. Sementara yang ‘tidak nyata’ adalah semua yang ia lihat di TV. Jack baru tahu bahwa di TV pun, ada yang nyata, ada yang tidak. Yang tidak nyata di TV seperti, Dora dan Spongebob. Bagi Jack, dunia adalah kamar dan seisinya, ia tak mengenal dunia lainnya. Sampai usianya lima tahun dan ia melakukan penyelematan.

Hubungan ibu dan anak juga dipaparkan tak kalah pentingnya dalam novel ini, bagaimana Ma membesarkan Jack dalam ruangan terbatas seperti itu dan dalam usianya yang masih muda. Saat Jack bertemu neneknya, ibu dari Ma itu lantas menyadari bahwa anaknya (Ma) mencontoh bagaimana ia membesarkan Ma ketika Ma masih seusia Jack. Yang bikin aku semakin suka, novel ini happy ending, Jack pada akhirnya bisa move on dan mengucapkan selamat tinggal pada ‘room’. Oh, aku ingin bertemu Jack, aku ingin membantunya beradaptasi dengan dunianya yang baru, dunia yang sesungguhnya.

The Martian – Andy Weir

Ada kabar baik yang lupa belum kusampaikan di awal, kedua buku ini, Room dan The Martian, sudah di-film-kan, jadi bagian kalian yang malas membaca dan tertarik dengan ulasann singkatku ini, silakan ditonton filmnya, tapi aku sih tidak merekomendasikan. The Martian adalah novel genre science fiction terfavorit pilihan pembaca versi goodreads tahun 2014, diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia.

Kalau aku jatuh cinta (kalau bukan jatuh kasihan) pada Jack, tokoh utama pada Room, aku juga jatuh cinta pada Mark Wattney, juga tokoh utama pada The Martian. Satu hal yang bisa kutarik benang merah pada kedua novel tersebut adalah bagaimana mereka bertahan menjalani kehidupan tidak normal dan itu berawal dari optimisme bahwa mereka bisa keluar dari kehidupan tidak normal tersebut. Namun bedanya, kalau Room, aku yakin diangkat dari kisah nyata, kemudian ceritanya dirubah sana-sini. Kalau The Martian, hemm…mungkin dari imajinasi si penulis, tetapi penulisnya sudah barang tentu melakukan research mendalam untuk menulis buku ini.

Mark adalah seorang astronot dan tipe suami idaman para wanita (mungkin informasi pertama tidak penting bagimu), karena aku pikir smart dan humoris adalah dua hal yang jika ada pada seorang lelaki lebih dari cukup untuk menarik hati lawan jenis. Mark terjebak di Mars dalam sebuah badai pasir (Mars, bayangkan?!?!? Bukan Bumi) dan tidak bisa kembali ke bumi, karena angkutan luar angkasa (disebut MAV, Mars Ascend Vehicle) meninggalkannya beserta kelima rekannya di dalam MAV. Kemudian waktu berlalu sampai tidak terasa dia menghabiskan satu setengah tahun hidupnya di planet merah yang dingin tersebut. Hah, tidak se-simple itu ceritanya. Tidak, Mark juga tidak menikah dengan alien, di Mars, ia benar – benar sendiri.

Namanya saja sudah genre science fiction, di dalamnya penuh dengan apa yang kalian sebut dengan ilmiah: reaksi kimia, hukum fisika, hitung-hitungan matematika yang rumit, atmosfer, tekanan, gravitasi, kalori, oksigenator, dan lain-lain. Mark adalah ahli botani dan insinyur teknik mesin. Ia menanam kentang di Hub (rumah nya di Mars) untuk memenuhi asupan kalorinya tiap hari, memanfaatkan apapun yang ada (panel surya, ini yang terpenting, RTG yang berisi uranium, tabung-tabung reaksi, selang, kanvas hub, sampai lakban, benda satu ini juga tak kalah pentingnya), dan memperbaiki segalanya yang rusak. Begitulah caranya bertahan hidup. Sungguh, kalau kamu sudah menyerah dari awal dan memasrahkan dirimu untuk mati saja di Mars, kamu tak akan melakukan itu semua. Tetapi Mark optimis, dia yakin suatu hari nanti, dia akan kembali di Bumi, dan memikirkan semua cara untuk dapat bertahan hidup.

Semua orang mengira Mark telah tewas. Sampai seseorang yang bekerja mengawasi citra satelit di NASA menangkap gerak-geriknya. Mark kemudian menjadi sorotan seluruh dunia (ah, mungkin aku berlebihan, mungkin juga tidak). NASA lantas memikirkan berbagai kemungkinan untuk menyelamatkannya. NASA nya Cina juga kemudian berinisiatif mengirimkan bantuan roket berisi bahan pangan untuknya. Beberapa pegawai NASA juga turut menyumbangkan ide dan pemikiran untuk membantu mengeluarkan Mark dari Mars. Jika kau tahu apa saja yang dilakukannya di Mars, kau akan berdecak kagum, mengumpat dalam hati (mengumpat keras-keras bisa dijadikan pilihan kalau tidak ada ibumu didekatmu ketika kamu membaca buku ini), dan jatuh cinta padanya.

Ia memodifikasi rover (kendaraan penjelajah), menempuh perjalanan ke situs pathfinder, menemukan alat komunikasinya yang rusak, memperbaikinya, lalu berhasil berkomunikasi dengan NASA, lalu karena kecerebohannya salah meletakkan ujung bor di sudut, merusak kembali alat komunikasi tersebut, sehingga komunikasi hanya dapat berlangsung satu arah. Melakukan reaksi kimia untuk menghasilkan air, tapi pada percobaan pertama gagal, hingga dia terlempar ke salah satu sudut hub dan mengakibatkan baju EVA nya rusak. Beruntung dia masih punya baju EVA milik teman-temannya, dan semua persedian milik kelima temannya ia manfaatkan, termasuk baju Johansen (rekan perempuannya yang bertubuh kecil yang baju EVA nya tidak muat untuknya), digunakan sebagai wadah air.

Hub juga sempat meledak, yang menyebabkan tanaman kentangnya hancur berantakan. Ia pun mulai memikirkan kembali cadangan makanannya bisa membuatnya bertahan sampai berapa sol, sebutan ‘hari’ di Mars. Misi penyelamatan yang akhirnya dipilih oleh NASA mengharuskannya menempuh perjalanan sejauh 3200 km ke MAV (hei, ingat ya, ini di Mars loh, bukan bumi) yang akan digunakan oleh Ares 4, program Mars keempat yang akan dijadwalkan empat tahun setelah program Ares 3, programnya Mark dan kelima rekannya, dengan Lewis sebagai komandannya, yang memutuskan meninggalkan (jasad) Mark di Mars pada sol 6. Kelima rekannya ini kemudian (setelah diberitahu oleh NASA bahwa Mark masih hidup) kembali ke orbit Mars untuk menjemput Mark.

Setelah melewati kawah, daratan yang naik turun, dan badai debu (ia membuat alat sederhana yang dapat mendeteksi arah badai), rover nya terperosok bebatuan, trailer terguling dan segala macam. Tetapi Mark adalah orang yang cerdas, panjang akal, dan selalu pnuya ide. Sesampainya di MAV, ia masih harus memodifikasi MAV, membuang semua komponen yang tidak diperlukan supaya MAV menjadi ringan untuk dapat terbang ke orbit, kali ini dengan panduan NASA karena ada alat komunikasi yang masih baru di MAV, sama halnya ketika dia memodifikasi rover (yang kedua kalinya) untuk dapat digunakannya menempuh perjalanan jarak jauh ke MAV Ares 4, sampai ujung bor sialan itu mematikan alat komunikasi pathfinder.

Di akhir-akhir hari yang melelahkan, ia masih sempat menonton koleksi film 70-an dan mendengarkan musik disko milik Lewis dan membaca novel Poirot yang ditinggalkan oleh rekan-rekannya di Hub. Kerena sifat humoris yang ada dalam diri Mark, dengan berbagai upaya bertahan hidup tersebut, ia menganalogikan, jika sudah berada di bumi nanti, kemungkinan dia akan: membuka bengkel, menjadi tukang servis, dan sopir trailer jarak jauh. Sungguh Mark adalah tipe suami idaman bukan? Jangankan memperbaiki hal remeh temeh yang biasa terjadi dalam rumah tangga seperti genteng atau atap bocor, keran air rusak, listrik korslet, itu semua tidak ada apa-apanya bagi Mark. Saat mengahapi masalah pun, dia masih bisa bercanda dan menenangkan dirinya sendiri.  Oh, Mark Wattney, aku padamu! Di akhir novel setebal lebih dari lima ratus halaman ini, pesan moral yang disampaikan adalah bahwa hasrat untuk saling membantu sesamanya adalah insting alami manusia.


jilbab dan kasur udara

Namanya Sri. Aku memanggilnya mbak Sri, ya karena memang dia lebih tua dariku. Anaknya sudah dua, dan jarak kelahiran antara dua anak ini jauh sekali, sepuluh tahun. Aku tak hendak membahas soal anaknya. Tapi ya beginilah aku menemukan kecocokan berteman dengannya, lagi pula mana pernah aku bisa cocok dengan yang seumuran denganku. Teman dekatku di kantor yang satu lagi, namanya mbak Dianti, juga seorang ibu-ibu. Kenapa aku bisa dekat dengan mbak Sri? Ini mungkin satu pertanyaan yang wajar saja, lantaran aku dengan mbak Sri tidak bekerja di satu bagian, bahkan berbeda divisi, ruangan kerja di lantai yang berbeda, aku di lantai tiga, sementara mbak Sri di lantai satu, tidak pula ada hubungan pekerjaan.

Salah satu alasannya mungkin karena Mbak Sri berasal dari Madura dan seperempat darahku adalah Madura. Aku mendapatkan darah Madura dari nenekku dari pihak ibu. Mama berbahasa Madura secara pasif, ia mengerti maksud yang dibicarakan orang lain dalam bahasa Madura, namun mama tidak bisa meresponnya dalam bahasa yang sama. Mbak Sri ini setiap hari berangkat dan pulang kerja dari rumahnya di Madura dengan menaiki kapal ke Surabaya. Ia adalah orang Madura tulen, itu diakuinya sendiri. Kemungkinan kedua, bisa jadi kami mengagumi orang yang sama, tapi hal ini masih belum pernah terlontar dari mulut kami masing-masing, hanya dugaan saja.

Terhitung sudah tiga kali, aku dan mbak Sri pergi ke Giant di jalan Rajawali, salah satu swalayan terdekat dari kantor kami. Sebelumnya, mbak Sri ini sudah pernah mengajakku keluar saat istirahat makan siang, ia mau ada yang dibeli di ITC. Tapi karena saat itu, entah hari senin atau kamis, aku sedang berpuasa, aku lantas menolak ajakannya, dan mempersilahkan dia meminjam motorku. Saat itu, ia tidak jadi meminjam motorku dan aku jadi merasa tak enak sendiri. Namun kemudian, dia beberapa kali meminjam motorku saat istirahat makan siang, salah satunya untuk periksa behel di rumah sakit PHC, sudah lama tidak kontrol katanya. Oh ya, aku sampai lupa mendiskripsikan mbak Sri secara fisik, mbak Sri ini orangnya kurus dan kecil, rambutnya pendek seleher, kalau berbicara terkadang menggebu-gebu dan itu yang bikin lucu, kalau sedang semangat dengan topik yang dibicarakan, matanya yang sudah bulat ikut melotot.

Pertama kali kami pergi berdua ke Giant pada hari Jumat siang ketika jam istirahat, tapi kami sudah janjian dari beberapa hari sebelumnya. Kami tidak langsung masuk ke swalayannya, melainkan ke stan-stan di depannya. Langkah kaki mbak Sri menuju ke stan yang menjual kasur udara, merek nya Intex, aku hanya mengekor saja dibelakangnya. Mbak Sri lalu melakukan tanya jawab dan tawar menawar dengan si abang penjual kasur. Sebenarnya yang dijual bukan hanya kasur, juga ada kolam renang plastik untuk anak-anak balita, juga menjual pompa untuk memompa kasur dan kolam renang plastik. Semuanya dari merek yang sama. Saat itu sedang ada promo, semua harga dalam spidol merah yang melabeli produk dicoret, kemudian dibubuhi harga yang lebih murah diatasnya dengan spidol merah.

Sesi tanya jawab akhirnya usai sudah, kami melanjutkan berjalan mengelilingi stan-stan yang ada, mbak Sri sesekali berhenti dan melihat-lihat celana sambil menanyakan pendapatku. Kami kemudian masuk ke swalayannya. Di dalam, kami hanya melihat-lihat dan tidak membeli apa-apa. Sebenarnya ada beberapa barang yang membuat mbak Sri tertarik, tapi ya mungkin sama seperti akulah, masih tak cukup kuat untuk membuat kami mengeluarkan uang dari dalam dompet. Kami pun kembali ke kantor, mbak Sri masuk ke ruangannya dan aku juga kembali ke mejaku di lantai tiga, mengambil bekal makan siangku dan memakannya di pantry. Rupanya kunjungan ke Giant di hari Jumat itu menjadi survey pertama bagi mbak Sri.

Selang seminggu kemudian, hari Jumat lagi, aku menghampiri meja kerja mbak Sri. Kami ngobrol-ngobrol disana sambil aku ikut memakan bekal makan siangnya, nasi goreng bikinan anaknya. Kami ditemani juga oleh supervisor mbak Sri, yang juga sedang makan bekal makan siang di mejanya, namanya mbak Nia, dia supervisor EMKL Import. Merekapun saling bercerita, kalau tidak mau disebut bergosip dan aku hanya mendengarkan. Ruangan mbak Sri yang biasanya ramai, ternyata sangat sepi ketika jam makan siang. Nasi goreng sudah habis, gorengan yang kubeli Pak Sam juga sudah tak bersisa. Ketika satu per satu karyawan di ruangan mbak Sri kembali, akupun tahu diri dan kembali ke lantai tiga.

Percakapan kami masih berlanjut melalui skype. Esoknya hari sabtu bukanlah giliranku untuk masuk, sementara mbak Sri bilang dia mau masuk. Dia jarang masuk kalau hari Sabtu. Jadi kalau hari Sabtu dia masuk, itu adalah hal yang jarang terjadi. Dengan alasan itulah kemudian, ia membujukku untuk masuk. Padahal sebenarnya, dia mau mengajakku untuk jalan-jalan lagi ke Giant. Aku masih belum memberikan keputusan sampai pulang. Di rumah, aku memutuskan untuk masuk saja. Sambil santai di rumah, aku menelepon mbak Sri dan mengabarkan kalau aku akan masuk, tapi di rumahku susah sinyal, aku hanya memberitahunya, ‘mbak, aku mene melbu’, mbak Sri menjawab, ‘besok jam sepuluh te, kita keluar ke Giant, aku udah janjian sama Wiwit juga’.

Hari Sabtu. Pagi-pagi sampai kantor dan memang tidak ada pekerjaan yang begitu penting untuk dikerjakan. Ternyata banyak juga yang masuk di lantai tiga, aku pikir akan sepi-sepi saja. Sekira jam delapan lebih, mbak Sri sudah ada di meja mbak Wiwit. Mbak Wiwit ini satu lantai denganku. Aku menhampiri mereka, mbak Sri dengan antusias bercerita kalau dia kepagian datang ke kantor karena kapalnya juga berangkat lebih pagi dari biasanya. Begitu sampai kantor, dia langsung menuju ke mushola di lantai empat untuk menunaikan sholat dhuha. Dia bahkan mungkin belum menyalakan komputernya, karena dari lantai empat langsung ke lantai tiga, ruangan kerja ku dan mbak Wiwit. Kami sungguh memanfaatkan jam kerja di hari sabtu dengan sangat baik.

Pukul setengah sepuluh, setengah jam lebih awal dari yang telah dijanjikan, kami beranjak keluar kantor. Mbak Wiwit memang ada keperluan di Giant, ia hendak membayar pajak tahunan sepeda motor. Di halaman Giant, ada kantor kecil milik SAMSAT yang dibuka untuk keperluan-keperluan semacam itu. Antriannya terlihat panjang, tapi ternyata cepat saja. Aku dan mbak Sri tidak masuk dulu dan memutuskan untuk menunggu mbak Wiwit di dekat situ. Cuaca juga belum begitu panas. Setelah mbak Wiwit menyelesaikan urusannya, kami bertiga masuk ke Giant. Stan kasur udara masih belum buka, si abang penjualnya juga masih belum terlihat. Kami masuk ke swalayan, dan melihat beberapa ibu-ibu yang memborong minyak goreng. Sebenarnya tadi juga waktu menunggu mbak Wiwit, aku sudah melihat ada orang membawa plastik belanjaan yang isinya minyak goreng dan bukan cuma satu.

Mendapati pemandangan tersebut, kami langsung menuju ke rak minyak gorang dan ternyata memang sedang ada diskon untuk beberapa merek minyak goreng kemasan dua liter. Untuk merek yang kemudian kami beli, harga normalnya di kisaran 25 sampai 27 ribu, saat itu dijual dengan harga miring, 21 ribu saja. Akupun mengambil satu, coba tebak mbak Sri ambil berapa? Lima. Ada peraturan, satu customer hanya boleh membeli maksimal empat untuk minyak goreng yang promo tersebut. Kalau tidak ingat ia akan kesusahan membawanya pulang, ia mungkin akan memaksimalkan kesempatan tersebut dengan memanfaatkan keberadaan mbak Wiwit.

Mbak Wiwit tidak membeli apa-apa, termasuk juga minyak goreng promo itu. Mbak Sri sebenarnya ingin membeli sebanyak mungkin, dia membeli empat, lalu mbak Wiwit akan dimintanya berpura-pura membeli empat, tapi yang membayar adalah mbak Sri. Tapi niat ini kemudian diurungkannya, selain karena akan kesusahan memebawanya ketika di kapal nanti, juga ketersediaan minyak goreng promo tersebut sudah habis. Mbak Wiwit bilang, biasanya akan dikeluarkan lagi stock nya dalam selang waktu beberapa jam sekali. Aku sampai harus mengambil troli di depan, sebelumnya aku hanya membawa keranjang.

Setelah memborong minyak goreng, kami berkeliling sebentar di dalam swalayan lalu membayar belanjaan kami di kasir. Di luar, pengunjung sudah cukup ramai. Mbak Sri lekas menuju ke stan kasur udara dan memulai sesi survey kedua. Sambil menjaga troli, aku dan mbak Wiwit bercerita, ini pertama kalinya kami berdua terlibat obrolan panjang. Dari cerita mengenai keluarganya, aku jadi tahu dan memaklumi sikap diam dan penyendirinya selama ini. Banyak hal yang aku baru tahu tentang mbak Wiwit dari obrolan tersebut, sementara mbak Sri masih asyik bernegosiasi dengan si abang penjual kasur udara. Aku sampai harus mengingatkan dia, ‘mbak, udah adzan duhur nih’, ‘mbak Wiwit masih ada kerjaan’.

Kami kembali ke kantor, sebenarnya masih belum adzan duhur, tapi tidak enak saja kalau keluar kantor selama itu, walaupun hari sabtu. Setengah jam duduk di meja, sayup-sayup terdengar adzan duhur. Melalui skype, aku mengajak mbak Sri sholat. Kamipun naik ke lantai empat dan melanjutkan percakapan seusai sholat. Mbak Sri sempat bertanya mengenai jilbab, saat itu aku mengenakan pasmina, ‘gimana caranya pake jilbab, kok bisa rapet gitu’, dia kemudian minta diajari memakai jilbab dan bertanya-tanya, ‘gimana caranya biar jilbabnya bisa berdiri, aku gak bisa kalo pake iket daleman, itu pake peniti atau jarum pentul’, dan lain sebagainya. Dia juga bilang kalau berencana akan kembali ke Giant hari senin untuk membeli kasur udara dan dia juga sudah minta nomer hape si abang penjual kasur. Saat itu aku cuma bilang, senin besok aku puasa jadi aku malas keluar, jadi mbak Sri bawa motorku aja deh.

Hari senin kemarin. Takdir berkata lain, periode bulanan rupanya maju lima hari, dan aku tidak jadi puasa. Pagi-pagi, begitu sampai di kantor, aku langsung mengabari mbak Sri kalau aku bisa mengantarnya ke Giant siang nanti. Jam dua belas tepat, aku turun ke bawah. Aku dan mbak Sri keluar dari kantor dan berjalan ke tempat parkir di bawah terik sinar matahari. ‘Aku sudah sms an sama abang nya kemaren’, begitu yang mbak Sri bilang dalam perjalanan kami ke Giant. Sesampainya disana, kami langsung menghampiri si abang. Sebenarnya, nih abang bosen gak ya, liat muka kita berdua, batinku. Seakan sudah siap dengan kedatangan kami, si abang langsung mengambil pesanan mbak Sri, ‘di-tes dulu gak mbak?’, tanya si abang. Mbak Sri mengiyakan.
Si abang mengeluarkan kasur dari kardus, dan memompa kasur itu, ini untuk mengetes ada kebocoran atau tidak. Setelah kasur menggelembung dengan sempurna, si abang buru-buru berdiri dan pamit ke toilet. Mbak Sri melihat-lihat dan menyentuh kasur itu, warnanya hijau dan memang ada bagian-bagian yang kusam, tapi kurasa memang begitulah aslinya, bukan karena kusam, kotor, atau apa. ‘Kok kayak roti jamuran ya’, aku lupa menanggapinya bagaimana. Si abang kembali dari toilet, dan mbak Sri menunjukkan bagian-bagian yang kusam itu. Si abang bilang, ‘coba yang warna biru mbak’, aku menyahut, ‘tapi nggak usah di-test lagi mbak’.

Serasa mendapat dukungan dariku, si abang menambahkan, ‘ini di pabrik udah di-test mbak, kalau ada yang bocor, gak bakal dijual’, aku mengangguk dengan mantap. Mbak Sri setuju, si abang membuka kardus yang berisi kasur biru, dan membuka beberapa lipat saja, menunjukkan ke mbak Sri. Urusan kasur sudah beres, sekarang ganti ke pompa. Mbak Sri memang bermaksud membeli kasur dan pompanya sekalian. Si abang mengambil pompa dan bertanya, ‘di-test juga gak mbak?’. Aduh, ngapain pake nanya sih. ‘Iya bang, di-test’. Si abang mengeluarkan pompa dari kardusnya, kami diminta memegang ujung yang mengeluarkan udara. Kalau ada udara yang keluar berarti pompa tersebut berfungsi dengan baik, dan si abang pun mulai memompa.

Urusan selesai. Si Abang membungkus kedua pesanan mbak Sri tersebut, dan mbak Sri mengeluarkan uang dan saku celananya. Aku melihatnya membayar 250ribu, dari yang seharusnya…ah aku malas menghitung. Sambil berjalan ke tempat parkir Giant, mbak Sri bercerita, dia memang sudah menawar, harga seharusnya adalah: kasur 219ribu dan pompa 55 ribu, jadi total 274ribu. Tapi mbak Sri hanya membayar sejumlah 250ribu. Sudahlah promo, masih minta turun harga. Dia menambahkan lagi, ‘ini aku udah nego, janjian sama abangnya kemaren, sms-an’. Dalam perjalanan kembali ke kantor, mbak Sri bercerita tentang jilbab.

Libur lebaran kemarin, dia berkunjung ke rumah keluarga suaminya. Dia tertarik dengan jilbab yang dikenakan oleh adik iparnya, dan dia titip minta dibelikan jilbab seperti itu di Jakarta, untuk dikirim ke Madura. Kasur pompa itu juga titipan dari ibu mertuanya di Jakarta. Sesampainya di kantor, dia menunjukkan foto adik iparnya yang mengenakan jilbab yang ia suka. Jilbab itu terdiri dari berbagai macam warna dan ia menyebutnya jilbab pelangi. Menurutku norak, dan dasar aku, aku langsung menyampaikan pendapatku, ‘kok norak gini mbak’. ‘Enggak ini, warnanya muda, merah muda, hijau muda, kuning muda’. ‘Seragam kita kan nanti warnanya kuning kayak gini, jadi bisa pake ini buat kerja, bisa dipake juga kalo bajunya warna hijau, atau warna merah muda, jadi satu jilbab bisa untuk banya baju’. Aku hanya bisa bilang ‘iya deh’ sambil manggut-manggut.

Satu lagi, masih soal jilbab. Mbak Sri termasuk salah satu orang lama di kantor tempat kami bekerja. Bu Onny, pemilik perusahaan pernah beberapa kali memberikan jilbab ke karyawan perempuan tertentu, yaitu orang-orang dengan masa kerja yang sudah lama, termasuk salah satunya mbak Sri, padahal mbak Sri tidak berjilbab. Dia ingat mungkin ada tiga kali dia dapat jilbab dari bu Onny, dan ketiganya kemudian diberikan ke uminya.

Jam istirahat hampir usai dan kamipun berpisah. Aku ingat kalau mbak Dianti tadi menawarkan untuk membagi bekal makan siangnya denganku. Beberapa hari ini aku memang tidak membawa bekal makan siang. ‘Ayo Ginz, aku bawa sop banyak, nanti makan siang sama aku’. Aku mencari-cari mbak Dianti yang tidak ada di mejanya, dan langsung masuk ke pantry. Benar saja, mbak Dianti ada disitu, juga ada mbak Alda dan mas Rendy. Mbak Dianti bertanya aku dari mana, ‘kamu tak cariin dari tadi, yaudah aku tinggal makan duluan’.

‘Ginza tadi habis selingkuh mbak, sama perempuan lain’, ujar mas Rendy, yang memang tadi melihatku dan mbak Sri di tempat parkir. Aku bilang kalau aku habis mengantar mbak Sri ke Giant. Mbak Dianti sedang menghabiskan bekalnya, dan sudah hampir habis, tapi masih ada sop dalam mangkok di depannya, yang langsung kulahap. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba mas Rendy bertanya, ‘mbak Sri itu mau berjilbab ya Gin?’. Sontak kami bertiga kaget, aku, mbak Dianti, dan mbak Alda. Kok bisa mas Rendy tahu soal hal pribadinya mbak Sri. Kita saja yang sama-sama perempuan malah belum tahu.

Sebenarnya aku malah tidak pernah menanyakan hal ini secara langsung ke mbak Sri, tetapi dari gelagatnya yang bertanya-tanya soal jilbab dan minta diajari berjilbab, ya berarti memang kemungkinan besar mbak Sri akan mengenakan jilbab. ‘kok kamu bisa tahu sih mas?’, aku bertanya begitu ke Mas Rendy. Dilihat dari mukanya, Mbak Dianti dan Mbak Alda, juga sangat penasaran akan bagaimana jawaban mas Rendy, secara kami tidak meliihat adanya kedekatan sama sekali antara mbak Sri dan mas Rendy, mereka tidak ada hubungan pekerjaan, mas Rendy di lantai tiga, sedangkan mbak Sri, seperti yang sudah kuceritakan, di lantai satu.

‘Aku sampek nge-revisi PO gara-gara mbak Sri mau berjilbab’. Hah!?!, kami bertiga semakin melongo dengan jawaban ini, kok bisa?. Iya, PO buat pesan seragam. Oohh…kami mulai paham dan tercerahkan. Mas Rendy ini pekerjaannya adalah purchasing atau pembelian dan pengadaan alat-alat dan keperluan kantor, semisal kursi, kertas, servis AC, dan segala macam. Beberapa hari yang lalu, memang ada pendataan untuk pengadaan seragam. Bagi karyawan perempuan yang berjilbab, disediakan seragam lengan panjang. Selain itu, untuk laki-laki dan perempuan yang tidak berjilbab, seragamnya lengan pendek.

Jadi ceritanya mas Rendy ini sudah mengajukan Purchase Order (PO) untuk pembelian seragam ke supplier dengan data dan ukuran final dari semua karyawan yang sudah didapat. Kemudian, pesanan seragam mbak Sri yang awalnya lengan pendek, dia ganti menjadi lengan panjang. Mbak Sri juga menyertakan alasan pergantian pesanan ini, karena dia mau berjilbab. Dari situlah mas Rendy tahu perihal niat mbak Sri untuk berjilbab. Mas Rendy pun harus merevisi dan mengirimkan PO lagi ke supplier seragam. Aku, mbak Dianti, mbak Alda hanya bisa tertawa saja mendengar penuturannya. Karena non muslim, mas Rendy jadi bertanya-tanya, ‘gitu itu gimana sih, setelah dapat hidayah gitu ya?’.


tentang mojok

Makna membaca dan menulis sudah tentu berbeda bagi setiap orang. Ada yang bikin emosi di hari minggu pagi karena membaca artikel yang tidak disuka, tetapi terlampau malas untuk menulis sesuatu di kolom komentar, kemudian melampiaskan ketidaksukaannya padaku hanya karena akulah yang merekomendasikannya untuk membaca artikel di situs tersebut. Situs tersebut adalah mojok.co. Apa gerangan yang membuatnya harus membuka situs tersebut dari layar gadgetnya yang ia klaim sudah sangat canggih tetapi dibeli dengan harga lumayan murah dengan cicilan dua belas bulan, padahal seharusnya minggu pagi ini dia sedang khusyuk mengikuti ibadah di gereja. Padahalnya lagi, baru kemarin dia bilang bahwa dia tidak suka dengan bacaan yang seperti itu, artikel-artikel di mojok.co.

Aku tentu tak hanya merekomendasikan, aku punya alasan mengapa artikel-artikel di situs tersebut cukup layak untuk dinikmati, menurutku mojok ini nyeleneh, dengan gaya penulisan yang terkadang berupa satir, sindiran, maupun sarkastik, dan kerap kali ada bagian-bagian yang lucu yang bikin nyengir sendiri. Sebelumnya, dia juga berkali-kali merekomendasikan sebuah blog untuk kubaca, dennysiregar.com, yang dengan cukup bijak kutanggapi dengan, ‘ya nanti suatu saat pasti kubaca, kalau aku punya banyak waktu’. Aku tak pernah menolak bacaan kan, apalagi kalau itu bisa memperluas sudut pandangku akan suatu hal dan menambah referensi dalam menulis. Harus kuakui, membaca mojok sedikit banyak telah mempengaruhi cara menulisku yang sebelumnya sangat kaku menjadi lebih luwes dan enak dibaca. Terlebih lagi, dari membaca mojok, aku jadi tahu berbagai persoalan yang sedang ramai dibicarakan di media, kemudian diulas oleh para penulis di mojok dengan sudut pandang yang berbeda dari media kebanyakan.

Tentu tak semua tulisan di mojok aku suka, ada yang tidak kusuka yang menurutku tidak layak untuk dimuat, tapi aku bisa apa….belum tentu aku bisa membuat tulisan seperti itu, apalagi dimuat di situs yang sedang nge-hits seperti mojok.co, dan pada akhirnya akan selalu ada pro dan kontra terhadap sebuah tulisan, itu sudah resiko yang sepaket dengan dipostingnya atau dimuatnya sebuah tulisan di media. Ada hadits nabi mengenai perihal bagaimana seharusnya kita memperlakukan makanan, kurang lebih begini, kita tidak boleh mencela makanan kalau tidak suka atau tidak berselera dengan makanan tersebut, yang dalam artian kita tidak boleh mengungkapkan dengan ucapan yang keluar dari mulut bahwa makanan tersebut tidak enak. Kalau kita tidak menyukainya, cukup dengan tidak memakannya, meletakkan kembali makanan tersebut, dan menahan untuk tidak mengeluarkan celaan terhadap makanan tersebut, cukuplah disimpan dalam hati. Karena bagaimanapun, makanan adalah rezeki. Ini bisa juga diterapkan untuk bacaan atau tulisan. Toh para pembaca tinggal duduk anteng, sambil nyeruput kopi, dan membaca.

Kalau dari awal tujuan kita membaca tidak ada tendensi untuk mencari sesuatu yang cela dalam sebuah tulisan, tidak mencari hal untuk dikritisi, tentu kita bisa menikmati sebuah tulisan. Ihwal tulisan itu nanti berseberangan dengan opini kita, bolehlah kita berkomentar, namun tak perlu sampai terbawa emosi. Karena banyak membaca, aku sudah kenyang dengan pengalaman seperti itu, dari membaca artikel yang tak sepenuhnya aku setuju dengan apa yang ditulis, hingga sama sekali tak sepakat, tak suka dengan cara menulisnya, tak cukup berkualitas menurutku, dan lain sebagainya, bahkan pernah membeli kumpulan cerpen yang menurutku cukup buruk sampai aku merasa menyesal membelinya. Tapi dari situ aku mengambil pengalaman bahwa selera baca yang bagus diperoleh dengan membaca tulisan yang buruk, yang kedua dan tak kalah penting, kita jadi tahu sudut pandang orang lain mengenai suatu hal, ini membuat kita tidak melulu terkungkung dalam pikiran yang sempit, membuat kita tidak mudah men-judge seseorang yang memiliki pandangan berseberangan dengan kita. Bahkan lewat sebuah tulisan, kita jadi tahu latar belakang seseorang berpikiran atau bereaksi terhadap suatu hal. Untuk itulah, diperlukan banyak membaca, bukan hanya bacaan atau hal-hal yang kita sukai saja. Kita tentu tak mau menjadi manusia dengan cara berpikir sesempit lubang jarum.

Dalam sebuah perdebatan dengannya perihal seperti apa bacaan yang bagus, pada akhirnya aku hendak mengakhiri perdebatan dengan berkata seperti ini, ‘yaudah sih mas, memang selera bacaan kita beda’, temanku ini hanya menjawab, ‘iyo Gin’. Minggu pagi ini, dia mengirimkan pesan melalui bbm, ‘di mojok ini bisa komen tah?’, aku cukup terkejut mendapati pertanyaan itu, masih baca mojok juga ni orang, katanya gak suka. Aku jawab bisa, banyak yang komen kok, tetapi aku belum pernah. Dia melanjutkan, ‘mojok ini kayak artikel, tulisane orang-orang yang diposting gitu tah, ketoane arek kemaren sore bisa masukin juga tulisan disini’. Dengan berusaha cukup sabar aku menjelaskan, ‘bisa, tetapi diseleksi dan diedit dulu, susah masuk ke mojok, ketat, tapi begitu dimuat, penulisnya bisa langsung terkenal dan penulisnya dibayar’. Dia tidak percaya, ‘masa’ sih ketat’, aku hanya menanggapi dengan, ‘just try, please…’, sumpah serapahnya masih berlanjut, ‘kalo emang modele kayak gitu, jadi males komen’, aku mulai tak sabar, ‘yo kamu nulis lah, kirim ke mojok, itu baru namanya perdebatan yang sehat, ojok ngomong tok, yowes gak usah komen’, dia melanjutkan lagi, ‘berarti sing nulis bisa juga sembarang orang, asal sing nyortir suka, tulisane dipasang’, aku yang sudah mulai muntab, hanya menjawab, ‘ya’. Kemudian dia bercerita, ‘iki aku mangkel ae baca tulisan ‘pengkhianatan Ahok’, fotone yang nulis ternyata kaya gitu rupane, padahal mau ku komen, jadi worong’.

Setelah kuingat-ingat dan langsung mengecek ke mojok.co, penulisnya adalah Agus Mulyadi. Lagi-lagi aku menjawab, ‘baleslah dengan tulisan juga’, dia cuma bilang begini, ‘hahahaa…males lah, aku gak jago mengungkapkan dengan tulisan, kalo dengan kecupan bisa, sayang sing nulis lanang dan aku yo lagi gak pengen ngecup’. Niatnya mungkin bercanda, tetapi level kesabaranku sudah mulai anjlok. Nyatanya banyak yang suka dengan tulisan Agus Mulyadi, dan tulisannya banyak ditunggu-tunggu oleh pembaca Mojok. Dia belum berhenti melampiaskan kekesalannya, ‘aku liat tulisane iku wes gak suka, mau ku komen, terus liat foto sing nulis jadi males komen, gak berguna rasane’, hemmm, aku balas begini ‘awakmu iku sing nggarai emosi’, masih dia menjawab, ‘yo dia lah, kelihatan sekali kalo dia kontra ahok dan yang nyortir juga sama’. Aku memutuskan untuk tak menanggapinya lagi, tak berguna rasanya meladeni celotehannya, cukup kubalas melalui tulisan ini.

Oalah mas mas….mau baca aja kok ribet banget, kalau cuma mau membaca apa yang kamu suka saja, ya jadilah politikus atau ketua umum partai yang mau nyalonin jadi presiden, bikin media sendiri, bayar orang untuk menulis sesuai pesanan, baca deh tuh!, mereka aja juga masih baca media-media lain untuk melihat peta kekuatan lawan. Lagipula menulis kan memang salah satu cara untuk mengungkapkan pikiran dan opini, seperti yang kamu tahu, membaca sebuah tulisan kan sama saja membaca pikiran atau hasil pikir seseorang. Mau si penulis kontra Ahok, pendukung Ahok garis keras, pendukung Jokowi, pendukung haji Lulung kek, suka-suka yang nulis lah. Kalau pada akhirnya setelah membaca sebuah tulisan, pembaca menyimpulkan bahwa si penulis berpandangan A, dan pembaca berpandangan Z, kan kita jadi tahu sudut pandang orang lain yang berbeda dengan kita, pikiran kita jadi makin terbuka, karena kita tahu kita hidup di masyarakat yang sangat heterogen, namun berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini, menunjukkan bahwa masyarakat kita masih sangat intoleran.

Aku menulis ini bukan karena aku adalah pembaca setia mojok, tapi karena aku adalah seorang pembaca yang tekun sekaligus penulis yang malas. Aku membaca bebagai macam tulisan, baik itu yang ujungnya akan aku suka maupun tidak, baik itu yang selaras dengan sudut pandang dan opiniku atau yang berseberangan dengan hal yang kuyakini, aku sangat menikmati membaca dan tidak ada perlunya berkomentar yang terlalu berlebihan, toh aku juga belum tentu bisa membuat tulisan yang lebih baik dari yang kubaca. Kalaupun mau berkomentar, ada kolom komentar yang disediakan, atau kalau mau sebuah perdebatan yang lebih sehat, bikinlah sebuah tulisan yang kontra. Ini akan menumbuhkan sebuah iklim menulis yang sangat bagus dalam sebuah perang opini. Semakin banyak opini, semakin bagus buat pembaca, ini melatih kita untuk melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang yang kemudian menjadikan kita lebih dewasa dalam menilai sesuatu. Begitupun, mungkin masih ada saja pembaca yang berkomentar, ‘bisanya nulis doang, perang komentar, action donk!’ Kembali lagi pada tujuan awal kita membaca, kalau sudah ada rasa tidak suka dan niat untuk mencari-cari cela terhadap suatu tulisan, ya jatuhnya kita tidak akan bisa menikmati sebuah bacaan. Membaca itu harus dinikmati men!

Aku sendiri punya seorang teman yang sama-sama suka membaca tetapi selera bacaan kita berbeda. Namun, karena tidak ada sedikitpun niat untuk saling mengejek selera bacaan yang lainnya, perbedaan ini malah membuat kita penasaran kenapa dia suka dengan novel genre A, dan kitapun mulai membaca novel yang bukan zona nyaman kita, aku mulai membaca fantasi, novel anak-anak, diapun begitu walaupun pada awalnya, dia sering kali bilang kalau agak lambat membaca novel ini, bukan ‘my cup of tea’ soalnya, yang mana itu adalah salah satu novel favoritku. Perbedaan ini malah memperkaya bacaan kita, yang tentunya akan memperluas referensi, wawasan, dan sudut pandang kita. Aku ingin bilang bahwa kita memang tidak bisa memaksakan selera baca kepada orang lain, tapi niat awal membaca tulisan dan tendensi untuk tidak mencari cela dalam sebuah tulisan adalah lain hal.

Sungguh emosi aku dibikinnya pagi ini, mana kontak di bbm cuma tiga, yang satu bikin emosi pula. Yang satu hanya bisa chat kalau ada sinyal 4G, yang satunya lagi…..ah sudahlah.


pesan dalam kertas

Aku menulis lagi!

Hari ini aku melakukan hal yang romantis (menurutku) ke Pak Candra, atasanku. Jadi ceritanya Pak Candra lagi talking on the phone, entah sama siapa, sepertinya sih membicarakan masalah reefer container yang akan disewa oleh salah satu customer. Aku nggak begitu denger suaranya, padahal biasanya Pak Candra selalu bersuara kencang, baik itu di telpon maupun berbicara langsung. Mungkin saat itu orang yang di seberang telpon yang sedang berbicara dan Pak Candra kebagian giliran mendengarkan, tapi ini lama sekali. Aku menarik telpon yang berdering di meja sebelahku yang kebetulan kosong karena orangnya sedang sholat. Entah siapa (setiap ada telepon, aku memang tak pernah menanyakan, ‘ini siapa’ sampai aku mengenali suaranya, dan senang sekali rasanya kalau aku berhasil menebak orang yang benar, kalau aku tak berhasil menebak, sejujurnya aku tak peduli dengan siapa aku berbicara, dan menurutku setiap penelepon, sebelum mengutarakan hal yang hendak dibicarakan, sudah semestinya memberi tahu lebih dahulu dia siapa, misalnya, ‘halo, dengan mbak Dianti ya? Ini Ginza mbak…’) mencari Pak Candra, seketika itu aku langsung menoleh ke meja Pak Candra. Atasanku ini rupanya sedang berbicara di telpon, itu mungkin kenapa si penelepon yang mencari Pak Candra ini menelepon ke meja sebelahku, karena telepon nya Pak Candra sibuk. Si penelepon ini, yang tak kunjung berhasil kutebak siapa, kemudian menyampaikan pesan bahwa Pak Candra dicari Pak Didi (atau Didik) dari Petrojaya di ruang meeting lantai dua. Setelah berulang kali menoleh ke Pak Candra dan ia masih juga dalam posisi yang sama, memegang gagang telepon yang menempel di telinga, sambil tangan kirinya men-scroll hp nya. Kalau saja saat itu Pak Candra bersuara, mungkin aku tak perlu menoleh terus-terusan, karena aku bisa mendengar suaranya dengan jelas, bahkan apa yang sedang dibicarakan. Kalau Pak Candra berhenti berbicara berarti ada kemungkinan dia sudah selesai bertelepon, tapi ini tidak. Pak Candra dalam posisi diam dan tidak terlihat tanda-tanda percakapan itu akan segera selesai. Lalu sebuah ide muncul di kepalaku, aku mengambil selembar kertas bekas yang salah satu sisinya masih kosong yang sudah kurobek jadi setengah, dari dalam kalender duduk di meja, aku sobek lagi kertas itu menjadi setengahnya lagi, aku tulis begini, ‘Pak Candra dicari Pak Didi Petrojaya di ruang meeting lantai dua’. Aku hampiri mejanya dan menyerahkan kertas berisi pesan tersebut. Tak lama kemudian, pembicaraan di telpon itu berakhir. Aku pura-pura serius menghadap laptop, dan hanya mendengar langkah kaki pak Candra. Ketika sudah tak terlihat di meja aku menoleh ke belakang dan melihat dari balik punggungnya yang berbalut kemeja warna merah, berjalan ke arah tangga dengan tangan kanannya menggenggam sobekan kertas berisi pesan yang kuberikan padanya, membuat pipiku seketika berwarna merah (heheee..ini hanya kiasan). Sesaat kemudian, teleponku berdering, aku masih tak tahu siapa yang menelepon, dan masih mencari Pak Candra, kubilang kalau Pak Candra sudah menuju ke ruang meeting lantai dua, menemui Pak Didi dari Petrojaya, sesuai pesan yang kuterima tadi, entah dari siapa, apakah sama dengan penelepon yang sekarang. Dengan suara sedikit tergesa, penelepon ini bilang, ‘loh pak Didi malah nunggu di lantai satu’, waduh, aku salah memberi info, pikirku. Suara di seberang telepon melanjutkan, ‘oh iki, Pak candra wes mudun’, dan telepon pun ditutup. Selanjutnya yang terjadi adalah, Pak Candra membawa tamunya ke lantai tiga, tempat kami. Ternyata ruang meeting lantai tiga juga sedang digunakan. Aku mendengar Pak Candra berbicara ke tamunya, yang sudah pasti aku tebak pastilah Pak Didi, ‘kalo gitu kita ke atas aja’. Pak Candra pun naik ke atas, diikuti Pak Didi di belakangnya. Tak berselang lama, Pak Sjaiful dan Bu Yanti (ini perempuan yang kucurigai meneleponku tadi) yang bertempat di lantai satu, yang keduanya berbadan agak besar, menginjakkan kaki dengan lantai tiga dengan napas ngos-ngos an dan masih harus mendengarkan hal yang bisa jadi mengecewakan buat mereka karena mereka harus naik satu lantai lagi. Saat ini, ketika aku menyelesaikan tulisan ini, mereka berempat masih belum selesai meeting.


Sabtu pagi yang biasa

Setelah tidak masuk pada dua hari sabtu yang lalu, sekarang giliranku masuk, kami menyebutnya piket. Pukul dua belas malam, aku baru memejamkan mata. Dua malam ini, aku melakoni serangkaian wawancara yang akan menentukan masa depanku. Semoga hasilnya baik, buat aku maupun pewawancara. Kemarin aku sudah minta tolong Lia, sepupuku, untuk mengantarku ke kantor. Ini sudah sabtu kedua aku tidak bawa motor sendiri. Sabtu terakhir aku masuk, aku juga diantar Lia berangkat ke kantor, pulangnya aku minta dijemput papa. Siang itu, dari kantor, kami kemudian mampir makan siang di Bamara. Itu pertama kalinya aku makan disana.

‘Bamara? Belum pernah Pa.’ Papaku heran, aku menghabiskan masa kecil di daerah tersebut, tetapi belum pernah sekalipun mengetahui rumah makan yang katanya cukup terkenal ini. Papa bilang, Bamara singkatan dari Banjarmasin Madura. Suami istri pemilik rumah makan ini berasal dari Banjarmasin dan Madura. Aku lupa siapa yang dari Madura dan siapa yang dari Banjarmasin. Hidangan khas rumah makan tersebut adalah ikan bakar. Siang itu memang sudah lewat dari jam makan siang, tetapi rumah makan tersebut lumayan ramai dan penuh. Sebenarnya tidak begitu spesial juga di lidahku, tetapi karena aku suka ikan (ikan adalah menu wajib bagi mamaku), aku cukup menikmatinya. Namun, yang lebih membuat makan siang itu istimewa adalah makan berdua dengan papa.Ini jarang terjadi. Aku selalu senang melihat hubungan antara ayah dan anak perempuannya, lantas aku jadi terkenang masa kecilku saat papa menyuapiku sarapan sebelum berangkat ke sekolah, rasanya tak ada masa di antara saat itu dengan makan siang di Bamara.

Sabtu ini, sehabis mandi, aku terpikir untuk mengganggu salah seorang teman kantor, aku yakin dia pasti belum bangun. Aku menanyakan perihal gajiku yang Alhamdulillah, naik, mungkin karena aku sudah melewati masa percobaan tiga bulan. Hal yang tidak teramat penting untuk ditanyakan secara tidak langsung sepagi itu. Aku bisa saja menanyakannya hari senin ketika bertemu di kantor. Niatnya saja mengganggu, pertanyaan soal gaji tentu saja hanya alasan. Ternyata dia bilang kalau dia sudah bangun dari tadi, ah mana mungkin, padahal aku tahu, selagi aku menjawab pertayaan wawancara yang cukup melelahkan pikiran, dia pasti sedang nongkrong sama teman-teman tongkrongannya yang aneh itu.

Namanya Adi, aku memanggilnya mas Adi. Dia jauh lebih tua dariku, tetapi selalu sok dan berlagak muda. Salah satu kelakuannya yang menyebalkan adalah selalu absen ke mejaku untuk mengambil tisu setiap habis dari kamar mandi. Satu-satunya hal baik dari mas Adi adalah bahwa dia memiliki seorang anak perempuan yang cantik, mungil, lucu, menggemaskan, dan suka senyum. Kalau melihat fotonya aku ingin sekali menarik pipi kanan dan kirinya. Aku ingin bertemu dengan Sasha, itu nama panggilan anaknya mas Adi yang baru berulang tahun ke lima tanggal dua puluh empat April kemarin. Aku cuma kebagian rainbow cake yang dibawanya ke kantor lima hari kemudian. Itupun aku hanya ambil bagian yang warna merah. Karena aku suka warna merah. Mas Adi hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuanku. Foto Sasha dijadikan wallpaper di hp nya mas Adi. Sudah kubilang kan, aku suka sekali melihat hubungan antara ayah dan anak perempuan.

Rencananya, aku akan selalu mengalokasikan waktu piketku di hari sabtu untuk membaca. Teman-teman kantor lainnya kebanyakan juga seperti itu, ada yang nonton youtube, nonton film, belanja, dan hal-hal lainnya yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Namun, kebetulan karena ini akhir bulan, ada pekerjaan bulanan yang harus kukerjakan, dan pekerjaan tersebut memang cocok dikerjakan di hari sabtu yang sepi dan bebas ini. Kalau dikerjakan di hari senin-jumat, akan membosankan sekali. ‘Ini perkerjaan nggak penting’, begitu yang kubilang ke Mas Adi. ‘Ini penting Gin, kalau nggak ada ini, invoice nggak bisa diproses, kita nggak bisa tagih ke customer, nggak ada pemasukan ke perusahaan’, begitulah kira-kira Mas Adi masih mencoba menjelaskan dengan sabar padaku. ‘Harus dimintakan approval sebelum tanggal lima setiap bulan’, dia menambahkan.

Jadi pekerjaan ini kurang lebih begini: masuk ke sistem, cari quotation yang akan diperpanjang validasi nya, centang close, klik update, klik copy, klik save, cari quotation yang baru, ganti tanggal validasi, klik update, print, tanda tangan, stempel, scan. Ada enam puluh quotation yang harus diperpanjang validasinya setiap awal bulan. Tahap terakhir dari pekerjaan ini adalah mengirim scan quotation yang sudah diperbarui validasinya tersebut ke customer. Bagaimana, cukup membosankan bukan? Aku sudah mengerjakannya sejak aku masuk kantor ini, dan saat ini aku bisa mengerjakannya hanya dalam sekejap mata. Setengah hari kerja di hari sabtu inipun lebih dari cukup untuk menyelesaikan itu semua, bahkan aku masih punya waktu untuk makan pentol dan menulis cerita ini.

Ketika mengerjakan pekerjaan tersebut sambil menguap-nguap, aku teringat lagi dengan mas Adi. Setelah menyadari kalau pekerjaan ini mudah sekali, aku terkadang seperti itu, sukan menyepelekan sebuah pekerjaan, aku protes ke Mas Adi. ‘Mas, nggak ada ya kerjaan yang lebih menantang, ini nggak challenging banget’. Dengan santainya dia menjawab, ‘kamu mau pekerjaan yang menantang? Sana keluar, berdiri di trotoar, trus ludahin setiap orang yang lewat’. Aku tidak menyangka, Mas Adi sekasar itu sama aku. Aku hanya bisa merengut, kembali ke mejaku, kembali menekuri pekerjaan yang membosankan itu. Aku bisa apa? Meludahi Mas Adi?

Kali lain, ada pekerjaan yang cukup sulit. Sebetulnya tidak ada pekerjaan yang sulit bagiku. Tapi pekerjaan tersebut memerlukan analisis, pemikiran, komunikasi, kecepatan, dan ketepatan. Seolah semua sumber daya yang pada diriku dikuras habis untuk satu pekerjaan tersebut. Pekerjaan itupun adalah inquiry dari Mas Adi yang selalu minta cepat, sementara permintaannya susah. Hari sudah sore dan aku tak kunjung selesai, karena tidak tahu bagaimana mengerjakannya, aku hanya bisa melihat, membaca, berpikir, tidak ada pergerakan lebih dari itu. Lalu aku menghampiri meja Mas Adi, dialah yang bertanggung jawab, dia yang kasih pekerjaan. ‘mas, ribet banget, ini gak selese-selese, aku wes males mikir’. Mas Adi menghentikan pekerjaannya, menanggapi kekesalanku, ‘kamu kalo mau nggak mikir, jangan kerja disini, jualan sabun aja, atau kayak Pak Sam itu loh’.

Pak Sam adalan pemilik warung di tanah kosong yang sedang digarap di sebelah tempat parkir kantor kami. Makanan andalannya adalah nasi jagung dan tahu goreng tepung. Aku sendiri belum pernah njajan disitu. Karyawan lelaki di kantorku suka sekali nongkrong disitu, sambil merokok, ngopi, dan ngobrol. Lagi-lagi aku terdiam, kembali ke mejaku, dan menatap komputer dengan pandangan kosong. Aku berpikir kenapa yang dijadikan contoh sama Mas Adi, jualan sabun ya, kenapa bukan jualan sandal, kaset, atau mainan anak-anak.

Itulah Mas Adi, ketika rekan-rekan kerja yang seumuran denganku memanggilnya Pak Adi, dari awal aku masuk, aku sudah memanggilnya Mas Adi. Memang kalau mau diakui, mukanya tidak setua umurnya sih. Kalau aku ada pekerjaan yang susah dari atasan (saat aku masuk, semua pekerjaan susah, karena ini bidang yang baru bagiku), aku selalu menanyakan padanya bagaimana cara mengerjakan semua pekerjaan itu, walaupun terkadang dia tidak cukup membantu dan jawabannya malah menjerumuskan. Mas Adi juga berkali-kali menyuruhku untuk berbaur dengan teman-teman yang lain, makan siang bareng, dan ikutan ngobrol. Tetapi aku tetap saja menyendiri.

Belakangan ini, karena aku sudah semakin menguasai pekerjaanku, aku jarang bertanya padanya. Dia juga semakin jarang memberiku pekerjaan, karena katanya kerjaku lelet, dan karena saking sabarnya dan baiknya dia menghadapi aku, aku jadi ngelunjak dan males-malesan ngerjain. Banyak pekerjaan darinya yang terbengkalai. Kalau ada pekerjaan dari dia dan belum selesai, kemudian ada pekerjaan lagi dari atasanku, tentu saja aku langsung beralih mengerjakan pekerjaan dari atasan. Mas Adi sebal juga dengan sikapku yang seperti itu, lebih menomorsatukan atasan daripada dia, padahal sedari awal dia sudah bilang, ‘semua inquiry itu sama pentingya, dari siapapun’. Sebenarnya Mas Adi ini bijaksana juga orangnya, tetapi mungkin karena kata-kata bijaksana yang keluar dari mulutnya beraroma rokok, aku jadi suka tidak mengakui kalau apa yang diucapkan itu memang benar.

Urusanku dengan Mas Adi rupanya akan bertambah rumit dengan sebuah kebodohan yang kulakukan. Aku menceritakan sebuah rahasia padanya di tengah malam ketika aku tak bisa tidur, lewat bbm, bisa dibilang aku curhat padanya. Dia baru membalas pagi dan memberikan repon yang…ya khas Mas Adi banget. Ada nasihatnya yang baik, dan ada yang buruk (apakah menyarankan sesuatu yang buruk masih bisa disebut nasihat?). Saran yang buruk ini menunjukkan betapa tidak dewasa dan tidak bijaksananya dia (aku malas mengakui kalau akulah yang tidak dewasa, jadi kulempar saja padanya). Lalu aku menanyakan lagi kepadanya saat bertemu di kantor. ‘Aku kan hanya memberi pilihan Gin’. Seenteng itu jawabannya, tetapi dia benar juga.

Kemarin di kantor, aku mengganggunya lagi, yang ternyata pemilihan waktuku salah. Dia sedang pusing karena baru saja mendapat komplain dari customer, ditunjukkannya percakapannya dengan customer di hp nya padaku, memang kalimatnya lumayan keras, ‘saya kecewa dengan pelayanan anda,…’, kurang lebih seperti itulah. Aku hendak menanyakan mengenai exwork dan FCA di Hamburg ketika dia baru saja duduk di mejanya dengan wajah stress, berkeringat, dan mulut bau rokok. ‘Sek Gin, sek Gin, customer ku ngamuk iki loh’. Serta merta aku langsung kembali ke mejaku. Sesaat kemudian, aku kembali ke mejanya dan hanya menulis di bukunya seperti ini: tidak ada yang mau dikomplain, dan tidak ada juga yang suka meng-komplain, yang sabar ya mas…

Dalam kondisi penuh emosi tersebut, dia lantas memanfaatkan keadaan, mengancamku, ‘kalau kamu ngerjain inquiry ku nggak cepet, tak sebarin loh, tak jadikan profpic di bbm’, yang dimaksud adalah apa yang kurcurhatkan kepadanya semalam sebelumnya. Lalu dia meng-screen capture bbm-an ku sama dia dan dikirim padaku. Sekali saja aku lambat mengerjakan inquiry dari Mas Adi, maka rahasiaku akan tersebar. Mungkin aku tidak akan lama kerja disini, karena sungguh tidak nyaman hidup dibawah bayang-bayang ancaman.