Membaca Aleph

Awalnya aku mengira bahwa Aleph, judul dari novel Paulo Coelho tersebut diambil dari nama tokoh utama dalam novel tersebut. Ternyata bukan. Di dalam novel disebutkan bahwa Aleph adalah huruf pertama dalam bahasa Ibrani, Arab, dan Aramaic, ini ada di halaman 125-126 dalam bab yang berjudul sama dengan judul novelnya. Sehingga, Aleph, ketika diterjemahkan ke dalam huruf hijaiyah arab, penulisan latinnya akan menjadi Alif, sebuah huruf yang akrab di telinga anak-anak TK di hari pertama belajar mengaji. Tentunya tulisan ini bukan dibuat untuk me-review novel tersebut, sama sekali bukan. Karena aku hanya ingin menyampaikan apa saja yang ada di dalam Aleph yang menurutku menarik, daripada memenuhi pikiran, mending ditulis.

Seperti juga buku-buku Paulo Coelho lainnya, tak semua yang kubaca dapat aku pahami. Membaca sebuah buku bukan berarti kita lantas mengerti isi buku tersebut. Saat kuliah, ketika ditanya siapa penulis favoritku, dengan mantap aku menjawab: Paulo Coelho. Selain juga karena memang aku sudah membaca beberapa bukunya, ya biar terlihat keren saja kalau aku menggemari buku-buku karya penulis luar negeri. Namun, seiring berjalannya waktu, apalagi setelah bekerja, aku membaca banyak buku, buku-buku karya penulis Indonesia. Penulis favoritku pun berubah, sebutlah ada Eka Kurniawan, Remy Sylado, Aan Mansyur. Mungkin akan beda lagi lima, sepuluh, atau dua puluh tahun kedepan. Kemudian aku menjadi anti membaca buku terjemahan, itu terjadi ketika aku menyadari bahwa buku terjemahan, yang entah berapa persen memiliki deviasi dari bahasa asli. Alasan kedua, aku merasa mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam kemampuan berbahasa Inggris pada saat itu. Saat itu. Lain sekarang. Setelah melewati masa-masa ‘nggak level baca buku terjemahan’, alasan lainnya aku baca buku ini adalah sederhana. Karena sudah terlanjur beli. Sementara itu, akupun membeli buku-buku import, berbahasa asing lewat salah satu toko buku online khusus buku-buku import yang sampai saat ini masih tergeletak terbungkus plastik di dalam rak buku, belum tersentuh sama sekali. Semoga semuanya terbaca, karena sudah terlanjur beli.

Buku Paulo Coelho yang pertama kali kubaca adalah Veronika Memutuskan Mati, kemudian setelah itu, The Alchemist, The Winner Stands Alone, Eleven Minutes, The Witch of Portobello. Hahaa…ternyata hanya itu, lucu kalau kuingat bahwa dulu aku meng-claim sebagai penggemar Paulo Coelho. Itu semua kubaca ketika masih di bangku kuliah. Seperti yang sudah kutulis, tak semua aku pahami isinya. The Alchemist bercerita tentang pengembala yang berkelana melakukan perjalanan mencari harta karun, yang pada akhirnya dia temukan di dekat rumahnya sendiri setelah dia kembali dari pengembaraan tersebut. The Winner Stands Alone sejauh yang kuingat adalah novel bergenre thriller-mistery, ada beberapa kasus pembunuhan di dalamanya, hingga menyisakan sang tokoh utama yang masih hidup di akhir cerita. Kalau tak salah mengerti, sang tokoh utama inilah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan tersebut. The Witch of Portobello merupakan kisah seorang wanita penari, kalau tak salah penari balet, yang hidupnya terus-menerus diganggu. Di akhir cerita dia memutuskan untuk mengarang kematiannya sendiri, sehingga orang-orang tahunya wanita ini sudah meninggal, tetapi dia kini hidup dengan identitas baru, dengan bebas tanpa gangguan.

Seperti yang kita tahu, buku-buku Paulo Coelho penuh dengan motivasi, perenungan-perenungan akan hidup, tidak ketinggalan dengan quotes-quotes nya. Jeda lama setelah itu aku tak lagi membaca buku Coelho. Entah kenapa pada suatu waktu, aku merindukan membaca buku Coelho. Pada titik tersebut, setelah banyak membaca novel-novel lain karya penulis Indonesia, apakah aku akan dapat memahami buku Coelho seutuhnya, atau malah semakin susah membacanya, hingga kemudian buku Aleph terbit. Aku memutskan akan membelinya begitu buku itu terbit di Indonesia, padahal masih banyak buku Coelho lainnya yang ada di toko buku, yang bisa aku beli kapan saja. Mungkin aku hanya termakan promosi saja, sehingga ikut-ikutan ingin menunggu dan membeli Aleph begitu buku itu terbit di Indonesia. Bagaimanpun aku pernah menjadi penggemar buku-buku Paulo Coelho, dan jika ada waktu dan uang, aku akan membeli dan membaca semua bukunya.

Pertengahan tahun 2013, buku terjemahannya terbit di Indonesia. Kebetulan saat itu aku sedang berada di luar Sangatta, aku lupa di Balikpapan atau Samarinda, aku menyempatkan ke Gramedia untuk membeli Aleph. Buku itu sudah langsung akan kubaca begitu sampai di barak, kubuka plastiknya, dan mulai kubaca halaman demi halaman. Berat, rasanya berat dan susah untuk memulai lagi membaca buku Coelho, sehingga aku harus mengulangi berkali-kali membaca untuk mengerti apa yang Coelho tulis disitu. Entah ada buku lain yang lebih menarik perhatianku, yang jelas Aleph kuletakkan begitu saja di lemari TV. Buku itu juga menjadi salah satu dari puluhan buku yang turut pindahan pulang kampung dari Sangatta ke Surabaya. Karena kehabisan uang untuk membeli buku baru, kuputuskan untuk menyelesaikan membaca buku yang tertunda. Aleph baru kubuka lagi di awal Maret tahun ini. Satu tahun sembilan bulan, sebuah penundaan yang menurutku tepat. Timing ku membaca Aleph sangat tepat, setidaknya apabila dibandingkan kalau aku langsung membacanya saat itu. Nanti akan kuutarakan alasannya disini. Oh ya, sebelum membaca Aleph, tapi setelah Aleph terbeli, ketika masih di Sangatta, aku juga sudah membaca buku Coelho yang lain, yaitu By The River Piedra I Sat Down and Wept. Pikirku waktu itu, buku itu akan lebih mudah dibaca dan dimengerti dibandingkan dengan Aleph yang dari judulnya saja terdengar asing. Dan sekarang, masih ada satu buku Coelho yang masih antri di rak buku untuk dibaca: The Devil and Miss Prym.

Di dalam Aleph, Paulo menulis tentang kisah perjalanannya sendiri, perjalanan sang penulis sendiri, menaiki kereta trans-siberia ditemani oleh beberapa teman editor dan penerbit bukunya. Ditambah satu lagi, Hilal, seorang perempuan muda berbakat dari Turki yang menjadi perempuan dalam buku ini. Dengan Hilal, Paulo berdialog dalam buku ini. Di sepanjang perjalanan, Paulo akan berhenti di kota-kota di Rusia untuk menemui pembaca dan melakukan wawancara. Di paragraf pertama bab berjudul 9.288 (halaman 78), diuraikan bahwa, “Jalur kereta api trans-siberia adalah salah satu jalur kereta api terpanjang di dunia. Kau bisa memulai perjalananmu dari stasiun mana pun di Eropa, namun jalur wilayah Rusia panjangnya 9,288 kilometer, menghubungkan ratusan kota besar dan kecil, melintasi 76 persen negara tersebut dan melewati tujuh zona waktu berbeda”.

Uniknya, di buku ini, Paulo Coelho, sang penulis, adalah tokoh utama di dalam novel ini. Setidaknya, di dalam Aleph, ada tiga hal yang menarik perhatianku. Ya, hanya tiga, dari sebuah pengantar yang sangat panjang 🙂

Pertama, di dalam Aleph, terdapat kutipan ayat Al Quran. Seperti yang kita tahu juga, bahwa hampir di semua bukunya Coelho selalu mengutip ayat-ayat dari Bibel. Bahkan, bisa dibilang, inspirasi buku-buku Coelho adalah Bibel. Mungkin Aleph adalah satu-satunya buku Coelho yang terdapat kutipan ayat Al Quran di dalamnya. Ketika itu, Paulo sedang berada di salah satu kota di Afrika, Tunis, di Tunisia dalam acara bedah buku. Selepas acara, Paulo beserta istrinya, ditemani seorang pembaca yang juga bertindak sebagai pemandu, namanya Samil, berjalan-jalan di sebuah bazar, kemudian berlanjut di sebuah istana di Tunis. Samil menceritakan mengenai sejarah dibangunnya istana tersebut. Kemudia mereka berhenti di bar, dan Paulo Coelho bertanya kepada Samil, ‘Apa kata Islam tentang reinkarnasi?’. Setelah bertanya ke beberapa orang, Samil pun membacakan ayat Al Quran 2:28 dan 2: 154 yang terjemaha lengkap nya adalah sebagai berikut:

“Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya), kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya.”(QS Al-Baqarah [2]: 28)

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati. Sebenamya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al-Baqarah [2]: 154).

 IMG-20150319-01373  IMG-20150319-01375

Namun, di dalam Aleph (halaman 54), ayat 28 tersebut ditulis tidak lengkap:

-quote

Samil kembali, membawa sebuah buku. Ia duduk bersama kami, memeriksa catatan-catatannya, lalu dengan khusyuk membolak balik halaman buku itu, menggumamkan kata-kata dalam bahasa Arab.

“Aku berbicara pada tiga ahli,” kata Samil akhirnya. “Dua di antaranya berkata bahwa setelah mati, orang-orang alim akan pergi ke Surga. Namun ahli ketiga menyuruhku membaca beberapa ayat dari Quran.”

Samil kelihatan bersemangat.

“Ini ayat pertama, 2:28 ‘…kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.’ Terjemahanku tidak sempurna, namun begitulah maksudnya.”

-unquote-

Ayat 28 surat Al Baqarah tersebut ditampilkan di dalam Aleph tidak utuh, kalimat pertama dalam ayat itu: “Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya),……” atau terjemahan lainnya. “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghiridupkan kamu,…….” dipotong. Di dalam ayat tersebut, Allah mempertanyakan kepada orang-orang kafir, bagaimana mereka (orang-orang kafir) mengingkari Allah sedangkan mereka tahu bahwa Allah yang menghidupkan dan mematikan mereka, kemudian menghidupkan mereka lagi.

Kemudian dilanjutkan di halaman berikutnya, halaman 55, Coelho menulis ayat 154 surat yang sama. Namun, sepertinya ayat tersebut dikutip begitu saja untuk menjawab keingintahuan Paulo Coelho mengenai reinkarnasi di dalam Islam, tanpa dijelaskan tafsir ayat tersebut, dan coba kita bandingkan dengan ayat yang serupa, yaitu ayat ke 169 dalam surat Ali Imron, karena dalam ayat tersebut jelas bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, mereka hidup di sisi Allah, dan tidak menjawab sama sekali mengenai reinkarnasi, karena memang dalam Islam tidak mengenal sedikitpun istilah tersebut.

“Jangan sekali-kali menduga yang gugur di jalan Allah adalah orang-orang mati. Sebenarnya mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan mereka memperoleh rezeki” (QS Ali Imran [3]: 169)

Setelah membaca dua ayat Al Quran di halaman tersebut, aku langsung membuka Al Quran, dan memang benar terdapat catatan kaki pada ayat 154 surat Al Baqarah, yang isinya menerangkan mengenai kalimat Sebenarnya (mereka) hidup: Hidup dalam alam lain yang bukan alam kita ini, tempat mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan kehidupan di alam itu.

Ada pula yang menafsirkan sebagai berikut: walaupun badannya telah hancur dalam kubur, namun namanya tetap hidup. Namanya itu memberikan ilham atau inspirasi kepada pejuang yang meneruskan cita-citanya. Badannya yang mati, namun pikiran dan cita-citanya terus hidup. Karena apalah arti hidup tanpa tujuan dan cita-cita? Jasmaninya hilang namun cita-cita dan apa yang diperjuangkan terus hidup dan dilanjutkan oleh yang datang di belakang. Bukankah manusia itu datang silih berganti, dan yang mereka perjuangkan ialah cita-cita yang tidak pernah mati?. Ada juga tafsir yang lain: sangat mungkin seseorang sudah mati (secara biologis) tetapi ruh dan jiwa-nya masih hidup. Karena Allah pada Diri-Nya ialah Dzat yang Mahahidup, maka sangat masuk akal manakala orang-orang yang terbunuh (karena berjuang) di jalan Allah, di jalan Dzat yang Mahahidup, pasti masih akan tetap hidup—kendati badan-nya sudah mati.

Terlepas dari itu, aku mencoba memandang bagaimana Paulo Coelho, di bukunya, Aleph, mencamtukan dua ayat Al Quran tersebut. Karena walaupun isi buku ini menceritakan kisah nyata perjalanan sang penulis, termasuk pertemuan dengan Samil di Tunis, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Coelho membaca Al Quran dalam proses penulisan buku ini. Dan ini menurutku sangat menarik.

Hal menarik kedua adalah, dalam Aleph dibahas mengenai inkuisisi, itulah kenapa aku mengatakannya penundaan membaca Aleph selama setahun sembilan bulan ini sangat tepat. Karena jika aku membacanya setahun sembilan bulan yang lalu, maka aku tidak akan mengerti sama sekali apa isi buku tersebut, walaupun cerita mengenai inkuisisi hanya sekitar lima belas persen dari isi buku. Tapi sudah cukup membuatku kebingungan untuk menangkap makna dari seluruh buku jika aku tak tahu apa itu inkuisisi. Aku mengetahui inkuisi baru sebulanan terakhir ini, jadi tepat sekali kalau aku membaca Aleph, lebih tepatnya melanjutkan membaca Aleph (walaupun harus kubaca lagi dari halaman pertama) dua minggu yang lalu.

Pertama kali aku mengenal istilah inkuisisi dari salah satu akun twitter, dan potingannya tentang inkuisisi dibuat menjadi sebuah chirpstory disertai dengan gambar-gambat yang membuatku ingin muntah. Kemudian karena tertarik untuk mengetahui lebih jauh, aku mulai searching, browsing mengenai apa, kapan, dan bagaimana itu inkuisisi. Caranya mudah, hanya dengan mengetikkan keyword inkuisisi di mesin pencari google. Untuk itu, aku tak perlu menjelaskan lebih banyak di tulisan ini, karena semua orang bisa melakukan hal yang sama, mengetik ‘Inkuisisi’ pada google. Intinya, inkuisisi adalah hukuman siksaan, terhukum disiksa, sampai mati, yang dilakukan gereja katolik terhadap pelaku-pelaku ritual yang tidak sesuai dengan ajaran gereja, atau aliran sesat, atauu kalau di dalam islam disebut bid’ah (yaitu melakukan ritual agama tanpa ada tuntunan dari Nabi Muhammad saw). Inkuisisi ini terjadi di Spanyol selama kurun waktu 1208-1834. Para terhukum disiksa dengan alat-alat yang mereka (gereja/dewan inkuisisi) buat untuk mengeksekusi. Kesalahannya tidak lebih dari tidak sepaham dengan doktrin Paus, atau yang telah dituduh melakukan kejahatan takhayul. Salah satu bentuk hukuman itu adalah dibakar hidup-hidup. Itu hanya salah satunya.

Dari sebuah sumber yang kubaca di internet, dari artikel yang berjudul ‘Kekejaman Dewan Inkuisisi Spanyol’, total jumlah orang yang dihukum Inkuisisi selama kurun waktu kurang lebih 600 tahun adalah 399.000. Pada 1492, Dewan Inkuisisi digunakan untuk mengusir semua orang Yahudi dan Muslim dari Spanyol atau untuk memaksakan kaum Muslim dan Yahudi untuk di-kristen-kan. Kaum Muslimin dipaksa masuk Kristen (Katolik), atau terpaksa keluar dari Spanyol. Menurut yang kubaca di wikipedia, Inkuisisi akhirnya dihapuskan pada 1854. Bayangkan bagaimana orang-orang Spanyol jika mendengar kata Inkuisisi pada tahun-tahun tersebut, pasti bergidik ngeri, mimpi buruk bagi mereka. Gila, aku hampir tak percaya ada hukuman sekejam dan sekeji itu dalam sejarah kehidupan manusia. Karena hukuman yang diutamakan adalah penyiksaan (torture), tidak langsung dimatikan.

Di dalam Aleph, Paulo Coelho pada masa sekarang diceritakan adalah reinkarnasi dari dirinya yang lalu, lima ratus tahun yang lalu, ketika Paulo ada di dalam dewan inkuisisi gereja, menjadi saksi yang menentukan apakah tertuduh layak dihukum inkuisisi atau dibebaskan. Salah satu tertuduh yang akhirnya dihukum Inkuisisi adalah Hilal, perempuan yang ditemui Paulo Coelho pada masa sekarang. Kemudian Paulo meminta pengampunan dari Hilal atas kesalahannya dulu yang membuat Hilal harus menjalani hukuman Inkuisisi tersebut. Sebelum reinkarnasi, Hilal yang dulu adalah seorang gadis yang melalukan bersama teman-temannya melakukan ritual pemanggilan setan di hutan, bahkan disebutkan juga bahwa gadis itu pernah berhubungan seksual dengan iblis.

Cerita mengenai inkuisisi ada di bab yang berjudul Ad Extirpanda (halaman 203-222), juga di halaman 172 sampai 177 yang memuat surat yang diterima oleh Paulo Coelho sebelum reinkarnasi menjadi Coelho yang sekarang. Surat itu bertempat dan bertanggal: Cordoba, 11 Juli 1942. Kata Inquisition pertama yang disebut dalam surat itu, diberi catatan kaki: Spanish Inquisition: organisasi yang dibentuk Gereja Katolik Roma untuk menghukum orang-orang yang kepercayaannya bertentangan dengan mereka, pada abad 15 sampai abad 17. Organisasi ini terkenal dengan metode-metode penyiksaan yang keji dan kejam. Inkuisisi dalam Aleph berlanjut di halaman 284-287 dan berkahir di halaman 304-306.

Bagaimana mereka (Coelho dan Hilal) mengetahui siapa diri mereka dulu sebelum reinkarnasi? Jawabannya adalah lingkaran cahaya dan kondisi Aleph, yang tak kupahami. Tak keseluruhan cerita harus kupahami bukan?

Hal terakhir yang menurutku menarik dalam buku ini adalah, jawaban dari Paulo Coelho ketika seorang wartawan bertanya padanya: “Apa makna Tuhan bagimu?” (halaman 134). Dan jawaban Paulo Coelho adalah:

“Siapa yang mengenal Tuhan tidak dapat menggambarkan-Nya. Siapa pun yang dapat menggambarkan Tuhan tidak mengenal-Nya.”

IMG-20150315-01368

Kalau kita tarik jawaban tersebut secara tersurat, bukankah itu sangat sesuai dengan konsep Islam. Tidak ada gambar Allah. Di dalam agama-agama lain, kristen dan katolik, ada gambar tuhan mereka, bahkan dibuat patung dan dipasang di dinding rumah. Aku jadi teringat akan kajian Ustad Felix Siauw, dalam pencariannya mencari Tuhan. Ketika beliau menanyakan siapa Tuhan kepada neneknya, dijawab oleh neneknya, tuhan langit, kemudian ditunjukkan gambarnya. Ustad Felix menjadi tidak puas setelah melihat gambarnya. Di agama lain, di negara-negara lain, seperti India, dibuat patung-patung Tuhan, inilah akibatnya kalau coba-coba menuhankan manusia atau memanusiakan Tuhan. Maka dibuatlah gambar dan patung tuhan sesuai dengan persepsi manusia. Seperti contohnya, Tuhan haruslah berkuasa dan berbuat apa saja, maka dibuat patung bertangan banyak. Allah, Tuhan kita, Tuhan semesta alam tidak dapat disamakan atau diserupakan dengan makhluk, karena makhluk atau manusia itu terbatas, sedangkan Tuhan tidak terbatas.

Well, that’s it, those three points that I found myself silent for a moment when reading Aleph.

Beberapa sumber selain wikipedia:

http://www.muslimdaily.net/artikel/studiislam/kekejaman-dewan-inkuisisi-gereja-spanyol.html http://chirpstory.com/li/253709 https://www.youtube.com/watch?v=nNqOd_NPbAg&list=PLahQ43c-v7YLzmebKFebsqiNOdQM88qn7&index=4


One Comment on “Membaca Aleph”

  1. Sapta says:

    Keren pembahasannyaa


Leave a comment